SEJARAH
CIREBON
Cirebon merupakan salah satu daerah di Indonesia yang lokasinya
terletak di bibir Pantai Utara Jawa bagian barat. Cirebon adalah tempat yang memiliki daya
tarik tersendiri bagi banyak orang. Banyak orang baik dari kalangan masyarakat maupun dari
kalangan akademisi, baik lokal maupun internasional berkunjung ke Cirebon
dengan berbagai tujuan.
Perkembangan kebudayaan yang terjadi di Cirebon pada zaman pra sejarah,
hingga terjadinya proses asimilasi kebudayaan satu dengan kebudayaan lain, baik
kebudayaan lokal maupun kebudayaan dunia seperti Cina, India, Arab, Parsia
berkembang secara harmonis tanpa menimbulkan friksi diantara pekakunya.
Kebudayan tersebut berpadu bahkan akhirnya memunculkan kebudayaan baru
tersendiri yang khas sehingga menjadi sebuah keunikan lokal (local genie) yang menjadi asset dari
kebudayaan Cirebon.
Tradisi menulis di Cirebon yang tercatat pada abad ke-15 baik tulisan sejarah, kesusastraan,
keagamaan pada akhirnya menjadi surganya ilmu bagi generasi sekarang terutama
dalam bidang pernaskahan selain Yogyakarta, Solo dan Aceh. Cirebon sebagai
pusat ilmu pada zamannya memiliki kekayaan intelektual yang tiada habis untuk
diteliti maupun dibahas. Demikian juga sisi sejarah belum banyak diungkapkan
pada masyarakat luas. Sehingga kota Cirebon member brain pariwisatanya dengan
Cirebon the gate of secret.
Cirebon
dalam penggalan sejarahnya menjadi tempat bersemainya dakwah Islam
sehingga kawasan yang terislamisasi pada masa-masa awal
kedatangannya sekaligus menjadi jembatan bagi tersebarnya agama Islam ke
wilayah pedalaman Jawa Barat.
Cirebon semakin beruntung lagi ketika hadir seorang wali kutub yang pada
yang pada puncak kejayaannya, hingga akhirnya berhasil mengislamkan Jawa bagian
Barat dengan strategi dakwahnya yang cemerlang. Perjuangan Sunan Gunung Jati
saat itu hingga kita masih dapat dirasakan oleh anak cucu keturunan dan
masyarakat sekitar.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas pada akhirnya dilakukanlah penelitian
untuk penulisan sejarah Cirebon agar dapat dijadikan mutiara hikmah bagi kita
semua pelaku sejarah pada masa sekarang agar dapat meneladani hal-hal yang baik yang telah dirintis oleh
para pendahulu kita. Selain itu juga diharapkan menjadi bahan kajian sejarah
yang berguna bagi generasi penerus bangsa, agar mereka mengenal sejarahnya.
TRANFORMASI
ISLAM DARI GERAKAN KULTURAL KE INSTITUSI POLITIK
A.
Cirebon
Sebelum Islam
Cirebon
merupakan daerah lama, dimana pada zaman mesolihticum sudah ditemukan
peradaban para nenek moyang kita. Di
desa Pejambon, Kabupaten Cirebon pernah ditemukan arca gajah megalitik. Bentuk arca gajah
itu digambarkan sangat sederhana dalam posisi duduk, kaki belakang berlipat.
Belalai menjulur ke depan, sementara kaki depan tidak nampak. Arca seperti ini
merupakan media pemujaan dari masa mesholitik
yang berlanjut ke masa Hindu.[1]
Begitu pula di daerah Cipari, Cisantana, Kabupaten Kuningan, di sana juga telah
ditemukan peradaban kebudayaan manusia. Peradaban manusia berlangsung terus ke
jaman perunggu hingga jaman sejarah.
Pada
abad ke-5 M, gelombang Budhisme
datang dari Cina di bawah pemerintahan Dinasti Selatan melalui jalur laut,
dibawa oleh para pendeta Budha ke nusantara dan Cirebon tidak lepas dari daerah
yang mendapat pengaruhnya.
1.
Organisasi
Masyarakat dan Sistem Pemerintahan
Organisani Masyarakat dan Pemerintahan sudah terbentuk sebelum Islam masuk ke
Cirebon. Masuknya Islam membawa damapak
perubahan dalam struktur organisasi masyarakat dan pemerintahan.
Menurut pendapat Ki Kartani bahwa,”Kepala
daerah bawahan bukan lagi disebut Ki Gede tapi diganti dengan sebutan Ki Kuwu
sesuai dengan peningkatan status administratif
Pakuwuhan. Situasi demikian
terus berlanjut dan semakin marak lagi pada jaman pemerintahan Panembahan Ratu
Awal.”
Ki Gedheng Alang-alang menjadi kuwu pertama
dari Pakuwan Caruban Larang. Sedangkan yang bertindak sebagai wakilnya adalah
Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana bergelar Ki Cakrabumi karena menjabat
sebagai Pangraksabumi atau wakil kuwu
yang diberi tugas khusus mengurusi masalah pertanian atau pengairan.
Setelah Ki Gedheng Alang-alang sebagai Kuwu
Cerbon pertama wafat (1447 M), penduduk Cerbon pada waktu itu secara aklamasi
mendaulat Pangeran Cakrabuana untuk menggantikan mertuanya. Prasasti Hulu
Dayeuh, yang ada di daerah Cikalahang, Kecamatan Bobos, Cirebon juga tidak
memberitahu adanya pelantikan Pangeran Cakrabuana sebagai kuwu Cirebon kedua. Prasasti
Huludayeuh hanya memberitakan bahwa daerah Cikalahang merupakan desa Perdikan
(bebas upeti) atau dimerdekakan dari membayar pajak. Berita yang disampaikan
oleh prasasti yang ditulis dalam bahasa Sunda kuno dengan aksara Jawa (Carakan)
itu menyebutkan bahwa Sri Maharaja Ratu Haji di Pokwan, sang Ratu Dewata
menyatakan Cikalahang sebagai daerah Perdikan (Hardjosaputro ; 2011:32).
Untuk daerah-daerah yang sudah berkembang
menjadi pemukiman Pangeran Cakrabuana juga mengangkat salah satu diantara
mereka untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Status pemimpinnya ditentukan oleh
jumlah cacah yang berkembang pada saat itu. Jumlah cacah yang terkecil dalam
suatu susunan masyarakat Cirebon pada saat itu adalah somah yaitu satu kepala keluarga. Kemudian setelah berkembang
menjadi beberapa somah dipimpin oleh
seorang Ki Buyut yang menjadi kepala
dari Kabuyutan. Dalam satu kibuyutan atau kabuyutan
setelah berkembang menjadi jumlah cacah yang cukup banyak ditambah dengan
jumlah pendatang yang masuk dan bermukim di wilayah tersebut. Kemudian
diangkatlah seorang Gegedhen yang
menjadi pemimpin di wilayah pedusunan tersebut
Seorang gegedhen
atau ki gedhe atau ki gedheng dapat saja ditentukan menjadi
kepala Pakuwan (Kepala Desa) tetapi
bisa juga dipilih lewat voting oleh rakyatnya menjadi seorang kuwu. Semuanya tergantung kesepakatan.
Berbeda dengan struktur pemerintahan pada masa kerajaan Hindu Budha, dimana
pemimpin suatu daerah biasanya merupakan keturunan dari kerajaan tersebut.
Pada tahun 1449 M, Ki Ageng Tapa wafat,
Pangeran Cakrabuana tidak melanjutkan kedudukan kakeknya menjadi Raja
Singhapura tetapi mewarisi semua harta peninggalan kakeknya. Kemudian Pangeran
Cakrabuana dengan modal yang dimilikinya membangun Keraton Pakungwati,
membangun bala tentara dan seluruh kebutuhan lainnya yang terkait dengan sarana
dan prasarana untuk mendirikan sebuah nagari
(negara). Pajajaran menyambut baik berita perekembangan di wilayah pesisir Cirebon.
Kemudian diutuslah Tumenggung Jagabaya beserta empat puluh orang pengawalnya
untuk membawa tandha keprabonyang
isinya menyatakan bahwa Cirebon statusnya diangkat dari sebuah Pakuwan menjadi Ketumenggungan. Pangeran Cakrabuana sendiri diangkat menjadi
tumenggung Carbon bergelar Tumenggung Sri
Mangana. “Raja Sunda manungsung suka
riniking krama, matangnya Pangeran Cakrabuana, kinanaken ka twangga dumadi
tumenggung Carbon, sang prabhu motus tumenggung jagabaya lawan kawula bulanira,
nikang duta sang prabhu amawa patanda kaprabon lawan anarikmana kacakrawartyan
mandala, Pangeran Cakrabuana Sinungan Pasenggahan Sri Mangana.”
Menurut Ki Kartani tandha keprabon yang diberikan maharaja Sunda dalam pelantikan yang
diwakili oleh Tumenggung Jagabaya tersebut terdiri dari:
-
Mandhe jajar atau bale pajajran
-
Keris.
-
Lampit (tikar yang
terbuat dari anyaman pandan atau rotan)
-
Kandaga (kotak tempat
menyimpan arsip)
-
Songsong (payung kebesaran)
Upacara penyematan tandhakeprabon
atau geglantandhakeprabon yang dilakukan kepada Pangeran Cakrabuana
sebagai Tumenggung Carbon. Kemudian dijadikan tradisi untuk melantik para Kuwu
yang menjadi bawahan Tumenggung Carbon. Kuwu-kuwu yang dilantik oleh Pangeran
Cakrabuana diharuskan membangun bale
mangu (bangunan untuk menyambut para pembesar Carbon berbentuk lunjuk), bale raman (bangunan untuk melakukan upacara selamatan atau
menerima sesepuh desa), bale desa (bangunan
untuk menjalankan pemerintahan desa), dan bale
lebu (bangunan untuk mengurusi urusan-urusan khusus).
Selain memiliki ruang pelayanan publik yang
sudah dirancang sedemikian rupa. Dalam sistem pemerintahan desa atau pakuwon juga diatur struktur
pemerintahan desa sebagai berikut:
1.
KiBuyut (penasehat
kuwu/penanggung jawab spiritual)
2.
KiKuwu (kepala
pakuwon/pemerintahan desa)
3.
KiKliwon (wakil Ki Kuwu)
4.
KiCarik /Jertulis (penanggung jawab administrasi)
5.
KiRaksabumi
(selaku penanggung jawab olah bumi yang menyangkut bidang pertanian dan
pengairan)
6.
KiJuraganPulisi/MandorPulisi atau LeluguDesa (penanggung jawab bidang ketertidan dan keamanan)
7.
KiMayor (selaku pembantu Reksabumi)
8.
KiBahu (selaku pembantu
umum)
9.
KiCapgawe (pembantu KiJuraganPulisi)
10. KiBekel
(selaku penanggung jawab blok)
11.
KiLebe (selaku penanggung
jawab bidang agama, menyangkut sarana peribadatan, perkawinan, perceraian,
talak, rujuk, kelahiran dan kematian)
12. KiKemit
(penjaga atau pesuruh desa) (Kartani, 1997:3)
2.
Kehidupan
Sosial Ekonomi Masyarakat Cirebon Pada Sebelum Islam
Dalam naskah Negara Kretabhumi sargah I parwa I disebutkan bahwa, “Sejak tahun
80 saka hingga 230 saka, sangatlah banyak kelompok pendatang yang menumpang
berbagai perahu dari negeri Bharata
dan Bhenggali yang bermukim di
Nusantara. Di antara mereka yang berasal dari negeri Bharata terdapat ResiWaisnawa,
mereka mengajarkan agamanya kepada penghulu masyarakat, tempat mereka bermukim,
khususnya di Jawa Barat. Sedangkan ResiSyaiwa
banyak yang bermukim di Jawa Timur.” Di antara penganut agama Hindu sekte
pemuja BataraWisnu tersebut adalah
Resi Sentanu Murti yang bermukim di Desa Krandon kecamatan Talun. Wilayah
Kecamatan Talun adalah daerah yang dialiri tiga hulu sungai, yaitu sungai
Grampak yang mengalirdari desa Sarwadadi menuju ke desa Sampiran, kemudian
sungai Suba yang mengalir dari desa Patapan menuju Sampiran serta yang terakhir
adalah sungai Cirebon Girang yang mengalir dari desa Cirebon Girang juga menuju
ke Sampiran. Di Desa Sampiran itulah ketiga hulu sungai tersebut bertemu
menjadi satu, yang diberi nama oleh Resi Sentanu dengan nama Gangganadi.
Kerajaan Singhapura mengalami puncak
kejayaan pada masa pemerintahan Ki Jumajan Jati atau dikenal dengan Ki Ageng
Tapa. Pada tahun 1401, berdasarkan catatan sejarah yang ditulis oleh P. Arya
Carbon Raja Giyanti(P.Roliya Martakusuma), pelabuhan Muara Jati mendapat
kunjungan armada besar dari China yang dipimpin oleh Cheng Hwa.
a.
Kondisi
Sosial Ekonomi Cirebon Pada Masa Penyebaran Islam (Masa Mbah Kuwu Cirebon atau
Pangeran Cakrabuana atau Tumenggung Srimangana)
Setelah Ki Ageng Tapa wafat, Pangeran
Cakrabuana tidak mau melanjutkan menjadi raja Singhapura menggantikan kakeknya,
namun beliau membawa seluruh harta warisannya untuk membangun keraton
Pakungwati. Pangeran Cakrabuana juga tetap melanjutkan kebijakan-kebijakan yang
telah dirintis kakeknya ketika menjadi raja Singhapura. Salah satu kebijakan
yang tetap dipertahankan adalah kebijakan ekonomi yang memprioritaskan Cirebon
sebagai nagari perdagangan.Potensi pelabuhan Muara Jati tetap dijadikan gerbang
utama untuk keluar masuknya komoditi perdagangan. Beras tuton, garam, terasi,
tetap menjadi produk unggulan yang diprioritaskan.Bahkan untuk garam dan terasi
udang Cirebon sangat terkenal di wilayah kerajaan Galuh dan Sunda
Pajajaran.Garam dan terasi juga merupakan komoditi yang menjadi syarat ikatan
antara kerajaan Cirebon dengan kerajaan pelindungnya Pajajaran. Setiap tahun,
Pangeran Cakrabuana selalu mengirimkan upeti berupa garam dan terasi (angaturaken uyah lan trasi, mring Maharaja
Sakti Pajajaran Pakuan Nagari).
3.
Kehidupan
Agama Masyarakat Cirebon Sebelum Datangnya Islam
Dalam naskah Babad Mertasingha yang di edisi Amman N. Wahyu, diceritakan tentang
awal pertemuan antara Syeikh Syarief Hidayatullah dengan Adipati Keling yang
sedang mengawal larungan jenazah
rajanya di tengah laut. Dalam lakon wayang kulit Purwa Cirebon juga dikenal
dengan sebuah cerita galur yang disebut lakon SumbadraLarung. Dalam lakon tersebut, Sumbadra yang telah dibunuh
oleh Burisrawa dilarung ke sungai menuju laut yang dikawal oleh Gatotkaca.
Dalam ritual kehidupan masyarakat nelayan di Cirebon, juga sampai sekarang
masih hidup upacara lelumban atau
pesta laut. Puncak dari upacara tersebut adalah melarungsajen menuju tengah laut.
Upacara larungan merupakan salah satu rangkaian dari siklus ritual yang
dilakukan oleh masyarakat pemeluk agama Hindu sekte Waisnawa yang sudah
mengalami proses metamorfosa dengan Islam. Sampai sekarang, dalam lakon galur SumbadraLarung, proses untuk
menghantarkan jenazah sang putri untuk menjumpai Hyang Widhi tetap dilakonkan
seperti apa adanya. Walaupun dipentaskan di tengah-tengah masyarakat Cirebon
yang sudah mayoritas Islam.
Beberapa tradisi mewarnai masyarakat
Cirebon pra Silam diantaranya ritual memitu
merupakan rangkaian dari sembilan atau sepuluh ritual persiapan menyambut
kelahiran bayi. Naskahsedekahwulan
atau CandraningWongBobotmilik R.
Syarief Rohani Kusumawijaya.
Ketika Ki Pengalang-alang meninggal,
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana mengkuburkan jenazah, baru pusaranya disiram
dengan air bunga, dan membakar dupa. Setelah itu baru dibacakan talkin, tahlil dan do’a.
Sebetulnya sinkretisme yang terjalin antara
agama Hindu dan Budha sudah terjalin sejak lama. Yaitu sejak awal masuknya
agama Hindu dan Budha ke Nusantara. Pembauran antara pendatang yang berasal
dari luar wilayah utara Nusantara ini beradaptasi dengan masyarakat Nusantara
yang sudah memiliki bahasa, adat istiadat dan sistem kepercayaan sendiri.
Seperti yang diberitakan dalam Kropak
408 dan Kropak 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian),
“Campuran Siwaisme dan Budhisme ini masih dijalin dengan agama pribumi. Karena
ternyata unsur Hyang tetap dibedakan dengan dewata. Walaupun tempat tinggal
para dewata juga disebut kahyangan.”
4.
Hubungan
Cirebon Dengan Dunia Luar
Cirebon saat itu
merupakan bagian dari Kerajaan Galuh
menganut agama Budha. Hingga kemudian mulai masuklah pendakwah Islam di
Jawa Barat, Caruban salah satunya. Saat itu Cirebon merupakan salah satu jalan
lalu-lintas internasional. Banyak masyarakat dari mancanegara yang telah
singgah di nusantara, jauh sebelum Cirebon berdiri. Begitu pula dengan
kerjasama diplomatik yang telah lama berlangsung dengan negara-negara di luar
nusantara. Kerjasama tersebut telah terjalin demikian harmonis. Salah satu
kerjasama yang telah terjalin sejak ribuan tahun silam adalah kerjasama dengan
Negara Cina. Hal tersebut tertuang dalam Naskah Pustaka Negarakretabhumi.
B. ISLAM MASUK CIREBON
Islam masuknya
Islam ke Cirebon tidak lepas dari masuknya Islam ke Nusantara. Masuknya Islam
ke Nusantara baik melalui pedagang Arab, Persia, Cina, India, baik lewat
migrasi secara individual maupun besar-besaran. Telah diketahui bahwa pada abad
ke-7 M, para pedagang Arab telah melakukan hubungan dagang dengan Nusantara.
Bahkan beberapa keluarga yang berasal
dari keluarga Lorestan, Persia pada abad ke-10 datang mendirikan kampung di
Leran, Jawa Timur. Keluarga Sunan Khot Jawi, yang merupakan keluarga kerajaan
beraliran Syiah, serta keluarga Rukhnud
Daulah Bin Hasan menetap di Siak, Sumatera Timur. Pada abad itu juga Keluarga
Jawani di Iran memilih tinggal di Pasai, dan pada abad ke-11, penasehat Ratu
Jayabaya, Fatimah binti Maimun merupakan generasi awal para penyebar Agama
Islam di Jawa.
Proses penyebaran
agama Islam di Nusantara oleh para pemuka agama saat itu, tidak lepas dari
sejarah perkembangan Islam dunia. Beberapa daerah di luar Nusantara seperti
Persia, Bagdad, Mesir dan Cina memiliki peranan yang besar dalam penyebaran
Islam di tanah Jawa.
Pengaruh Islam di
Nusantara masuk melalui jalur perdagangan yang sudah ada sejak abad ke-9,
terbukti dengan adanya seorang ahli bumi Arab bernama Abu al Faida yang
menyebutkan kepulauan Nusantara. Selain
itu sumber dari Cina menyebutkan bahwa di pantai barat Sumatra dikepalai oleh
pemimpin Arab dan terdapatnya beberapa keluarga Arab yang tinggal di Kalingga,
Jawa.
Migrasi orang Islam
berkebangsaan Arab, Persia dan Turki secara besar-besaran ke Cina terjadi pada awal abad ke-13, pada masa
Dinasti Yuan. Pertengakhan abad ke 13, di Cina kekuasaan Dinasti Khubilaikhan
berakhir berganti Dinasti Ming. Namun
generasi penerus dari Zenghiskhan dan Khubilaikan menjadi pemeluk Islam yang
mencintai Islam. Sehingga Khaisar Yung lo saat itu menaruh perhahatian besar
pada Islam, diperlihatkan dengan kebijakan politiknya mengirim Laksamana Cheng Ho melakukan perjalanan
Muhibah.Mereka menikah dengan penduduk Cina, bahkan menduduki posisi posisi
penting pada masa kekaisaran tersebut, mendorong perkembangan dakwah Islam di
sana, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perjalanan muhibah Laksamana
Cheng Ho pada tahun 1405-1437. Perjalanan tersebut ke Nusantara pada akhirnya
turut mempengaruhi budaya lokal, ditandai dengan menempelnya keramik-keramik
Cina dari Dinasti Ming pada beberapa masjid di Jawa serta menyebabkan adanya
migrasi orang-orang Cina ke Nusantara. Sehingga di daerah Tuban pada era
tersebut, Gresik dan Surabaya tersapat 1000 keluarga Cina Muslim.
Perkembangan di
Campa juga mempengaruhi perkembangan Islam di Nusantara. Pada Abad tahun
1446-1471 ketika penaklukan ibukota Champa oleh raja Vietnam, bernama Le
Nanh-ton dan Tanh-ton, mendorong
terjadinya pengungsian penduduk Champa ke Nusantara.
Menurut Sunyoto[2]
Islam yang berkembang di India, yang dibawa oleh golongan Alawiyin yang lari
dari kejaran penguasa Dinasti Umayah dan Abasiyah. Pengaruh tradisi dan
pemikiran Alawiyin yang dianut orang Persia, terbawa ke India. Pada saat
pedagang India muslim berdagang di Nusantara, pengaruh India-Persia tersebut
turut terbawa dan tersebar.
Perkembangan
sejarah di Timur Tengah juga turut mempengaruhi penyebaran agama Islam.
Penaklukan oleh Zenghiskhan (Temujin) mulai tahun 1211 di Cina, pada tahun 1218
M di Transosiana, Timur Tengah, mempunyai andil dalam penurunan kejayaan Islam
(baca = keruntuhan Bagdad). Hingga
penaklukan keturunan Zenghiskhan, yaitu Ghulahu atau lebih dikenal dengan nama
Khubilaikhan pada tahun 1256 di Persia dan pembumihangsan Bagdad pada tahun
1258, membuat Islam saat itu berada di zaman kegelapan. Baru setelah Berke,
keturunan Ghulahu dan Muhammad Ghazan, seorang pendeta Budhist, pada tahun 1295 menjadi raja Persia, Islam
mulai bangkit kembali. Sehingga pada saat itu di Jawa pun terdapat kekosongan
waktu dari abad ke-10 hingga abad ke-13, tidak terdapat perkembangan Islam yang
berarti di Nusantara. Di Nusantara pun tidak ada bukti bahwa Islam pernah
dianut secara luas di pulau Jawa. Bahkan dalam Historiografi Jawa, keteka
Sultan Al-Gabah dari negeri Rum, Persia mengirimkan 20.000 keluarga muslim ke
Pulau Jawa, mereka terbunuh dan hanya 200 keluarga yang selamat. Sehingga
akhirnya Sultan Al Gabah mengirimkan Syekg Subakir, wali keramat dari Persia
untuk berdakwah di pulau Jawa.
Di Mesir pada tahun
1260, terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti Abasiyah kepada para Mamluk.
Mamluk awalnya adalah perserikatan para budak yang mengambil alih kekuasaan
dengan cara menikahi sultanah saat itu. Saat pergantian tersebut berbarengan
penaklukan Zenghiskhan di Bagdad. Kekuasaan Mamluk yang kuat tidak dapat
ditembus oleh kekuatan militer Zenghiskhan saat itu.
Pada Abad ke-13
Kesultanan Turki dan Khalifah Umayah memegang peranan utama dalam perkembangan sosial
ekonomi, budaya, pendidikan politik dunia.
1. Jalur,
tokoh dan Proses Masuknya Islam
Diceritakan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, dalam Sejarah Banten, juga dalam
Naskah Mertasinga, bahwa Syekh Nurjati/Syekh Idofi
Mahdi/ Syekh Datuk Kahfi[3],
mendarat di Muara Jati setelah
pendaratan Syekh Quro .Rombongan diterima oleh Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati. Syekh
Nurjati bersama rombongan
dari Bagdad sebanyak sepuluh
orang pria dan dua orang perempuan tiba di Muara Jati. Syekh Nurjati mendapatkan
ijin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan(3), Gunung
Jati.
Syekh Nurjati untuk
membangun sebuah pondok pesantren yang bernama Pesambangan Jati. Setelah kedatangan Syekh Nurjati ke
Pesambangan, menyusul anak-anak mereka yang
bernama Syarif Abdurrahman dan adik-adiknya, Syarif Abdurrakhim, Syarifah
Bagdad dan Syarif Khafid datang menyusul dari Bagdad.
Selain Syekh
Nurjati terdapat pula Syekh Maulana Magribiserta adik Pangeran Maulana Magribi
yang bernama Pangeran Makdum. Keduanya popular karena memiliki suara emas
ketika melantunkan ayat suci Al Quran. Pangeran Makdum tinggal di sebelah
selatan keraton Pakungwati, diseberang selatan sungai, sekarang desa tersebut
bernama desa Makdum. Kegiatan utama adalah melaksanakan tilawah mengaji al
Qur’an dan tadarus Al Qur’an. Namun
Pangeran Makdum Ibrahim gagal menjadi wali di Jawa.
Berdasarkan
keterangan tersebut diatas terdapat beberapa jalur masuknya Islam di Cirebon
diantaranya : Jalur Persia, Jalur Cina, Jalur Arab (Mekah, Mesir, Bagdad), Jalur India, yang kesemuanya melakukan
perjalanannya melalui laut dan sebagian dari mereka juda ada yang melakukan
aktivitasnya melalui perdagangan.
2.
Munculnya Nama Cirebon
Dalam
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang disunting oleh Atja disebutkan bahwa
asal mula kata “Cirebon” adalah “Sarumban”, lalu mengalami proses perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses
perubahan pengucapan menjadi “Carbon”,
berubah lagi menjadi kata “Cerbon”,
dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”.
Masyarakat setempat
menyebutnya “Grage”
(asal kata dari “Garage” yang artinya
“Negara Gede”).
Menurut P. S. Sulendraningrat, sebagai penanggung jawab
sejarah Cirebon dari kalangan keraton, munculnya istilah tersebut dikaitkan
dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Ki Cakrabumi (Pangeran Cakrabuana).
Proses pergantian nama dari Caruban sampai Grage, berjalan terus hingga
sekarang menjadi “Cirebon” yang berasal dari kata “ci” artinya air dan “rebon”
artinya udang kecil sebagai bahan pembuat terasi[4].
B.
TERBENTUKNYA MASYARAKAT ISLAM DI CIREBON
1.
Terbentuknya Masyarakat Islam di Pesambangan
Tidak diketahui
dengan jelas apakah Ki Gedeng Tapa seorang mualaf atau tidak. Tetapi
berdasarkan naskah, Ki Gedeng Tapa sangat menghormati para pendatang yang
beragama Islam. Ia memiliki toleransi yang tinggi terhadap orang-orang yang
memilki keyakinan berbeda, sehingga pelabuhan Muara Jati dapat berkembang
menjadi pelabuhan yang maju dan ramai.
Pesambangan menjadi ramai sebagai berlangsung kehidupan ekonomi yang
menggeliat di Pelabuhan Muara Jati sebagai tempat ekonomi, yang memberi
penghidupan dan tempat berlangsungnya kehidupan beragama dengan dasar tauhid
dengan ketaatan menjalankan ibadahnya.
Ketika Pangeran
Walangungsang berhasil membuka Tegal Alang-Alang yang kemudian tumbuh menjadi
pedukuhan yang ramai, hingga akhirnya Pangeran Cakrabuana diangkat menjadi Kuwu
Carbon, proses masyarakat Islam pun terbentuk disana. Para penduduk di wilayah
Tegal Alang-Alang (Lemah Wungkuk) bekerja bersama-sama atau bersendirian di
bawah suatu komando Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana. Mereka sumbangkan tenaga dan pengalaman peribadi
untuk membina masyarakat yang satu harmonis berdasarkan persamaan hak,
dipadukan oleh tali Allah dan sisi
kemanusiaan.
2.
Demografis
Pada
tahun 1369 Saka atau 1447 Masehi, jumlah seluruh penduduk yang tinggal di
Caruban adalah 346 orang. Laki-laki sebanyak 122 orang dan perempuan sebanyak
164 orang. Dengan rincian sebanyak 196
orang Sunda, 106 orang Jawa, 16 orang Swarnabhumi (Sumatera), 4 orang Hujung
Mendini (Semenanjung Malaka), 2 orang India, 2 orang Parsi, 3 orang Syam
(Syiria), 11 orang Arab, dan 6 orang Cina. Mereka patuh kepada peraturan di
Caruban pada waktu itu.[5]
3.
Ekonomis
Cirebon menjadi daerah ekonomis
seiring perkembangan pedukuhan yang dibuka. Kemudian mereka membuat lahan
pertanian di daerah Panjunan, membuat industri produk laut diantaranya terasi,
petis, ikan kering dan garam. Adanya proses industri yang berlangsung di
Cirebon dapat di identifikasi dari adanya batu yang diyakini sebagai peralatan
membuat terasi di depan Keraton Kanoman yang terletak di Kelurahan Lemah
Wungkuk.
D.
MENATA INSTITUSI POLITIK
1.
Masjid
Perintisan berdirinya
Caruban Nagari dilakukan oleh Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dengan gelar
raja muda. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana merintis Caruban Nagari dari
jenjang yang paling bawah sampai menjadi raja muda. Perintisannya diantaranya
membuat pemukiman di Tegal Alang Alang
(sekarang Lemah Wungkuk) hingga akhirnya disebut Caruban yang artinya
campuran. Ketika Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Endang
geulis membuka pedukuhan, mereka mendirikan sebuah masjid di tepi laut yang diberi nama Masjid Pejelagrahan (asal
kata dari jala-graha yang artinya
rumah di atas laut).
2.
Istana
Sepeninggal Ki Gedeng Tapa , Pangeran Walangsungsang mendirikan
masjid dan Keraton Pakungwati dengan pembiayaan dari warisan kakeknya Ki Ageng
Tapa. Istana Pakung wati sekarang terletak di bagian dalam Keraton Kasepuhan.
3.
Tentara
Pasukan keamanan
lengkap dengan angkatan bersenjatanya dipersiapakan oleh Pangeran Walngsungsang
Cakrabuana untuk mengantisipasi serangan dari kerajaan Galuh.
SUKSESI KEPEMIMPINAN DARI SRI MANGANA
KE
SUSUHUNAN JATI
Walisongo
(yang lebih dikenal Nawa Kamastu pada saat masa Hindu Budha), terutama Sunan
Gunung Jati merupakan sebuah produk sukses dari suatu grand design, yang telah dirintis para wali sebelumnya dalam rangka
penyebaran dakwah Islam hingga akhirnya dapat meng-Islamkan tanah Jawa secara
masal dan beberapa daerah lain di luar pulau Jawa.
1. Latar
Belakang
Pangeran
Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang saat bertemu Syekh Quro, Syekh
Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi meramalkan adiknya akan berjodoh dengan raja
Mesir dan akan dianugerahi anak yang bernama Maulana Jati, yang kelak
ditakdirkan menjadi penguasa Cirebon. Seperti yang tertera dalam Naskah Carub
Kanda Carang Seket.
Pada
kesempatan yang berbeda Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Pangeran Walangsungsang setelah
membuka Tegal Alang-alang, mereka diperintahkan untuk menunaikan Rukun Islam
kelima. Setelah berhaji Nyi Mas Ratu
Rarasantang bernama Hajjah Syarifah Mudaim[6],
sedangkan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana menjadi Haji Abdullah Iman.
Pada
saat itulah Nyi Mas Ratu Rarasantang bertemu dengan Maulana Sultan Mahmud/ Syarif Abdullah/ Sultan Amiril Mukminin/ Sultan Khut,
Anak Nurul Alim dari bangsa Hasyim (Bani Ismail), yang memerintah kota
Ismailiyah, Palestina. Maulana Sultan
Mahmud, salah seorang penguasa di Mesir[7],
yang baru saja ditinggal mati oleh istrinya bermaksud menikahi Nyi Mas Ratu
Rarasantang. Syarif Abdullah pergi ke arah timur dari istananya dengan mengajak
Nyi Mas Ratu Rarasantang ke bukit Tursinah dengan diikuti Pangeran Cakrabuana
dan patih Jalalluddin. Disana ia melamar Nyi Mas Rarasantang. Perjanjian pra
nikah antara keduanya di Bukit Tursina[8]
terdapat dalalam Pupuh Kasmaran Naskah Mertasinga, Carang Seket, Serat Kawedar
dan Sejarah Lampah ing para Wali Kabeh. Isi dari perjanjian tersebut adalah
bahwa Nyi Mas Ratu Rarasantang bersedia dinikahi oleh Syarif Abdullah dengan syarat bahwa bila ia
melahirkan anak laki-laki, anak tersebut diperbolehkan untuk menjadi pemimpin
agama di Jawa untuk mengIslamkan saudara-saudaranya di Padjajaran.[9]
Perjanjian tersebut dihadiri oleh Pangeran Walangsungsang Cakrabuana selaku
wali dari Nyi Mas Rarasantang. Syarif Abdullah menyepakati perjanjian
tersebut.
Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana pun menyetujui perjanjian tersebut. Karena hal
tersebut pun telah diramalkan pada saat pertemuan mereka dengan Syekh
Quro, Syekh Maulana Magribi dan Syekh
Datul Kahfi. Yang secara tidak langsung ramalan tersebut merupakan nasehat dan
sekaligus merupakan amanat dari para pemuka agama di sana saat itu.
Akhirnya
Nyi Mas Ratu Rarasantang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud. Menikahnya
Syarifah Mudaim dan Syarif Abdullah bukan merupakan kebetulan belaka. Semua
merupakan skenario besar dalam rangka mengkader (kaderisasi) calon keturunan
orang-orang yang akan mengIslamkan tanah Jawa. Syarif Abdullah adalah adik ipar dari Syekh Datul
Kahfi. Antara Syekh Datul Kahfi, Syekh
Quro, Syekh Pernikahan Nyi Mas Ratu Rarasantang merupakan sebuah skenario besar
untuk melakukan Islamisasi masal melalui keturunan mereka di kemudian hari.
Dengan cara mensugesti Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang,
sehingga mereka mau mengikuti petunjuk para guru mereka. Para pendakwah senior
tersebut telah mengkaji dan mengambil pelajaran dari pengamalan mereka
sebelumnya, dimana perkawinan antar mualaf Nyi Mas Subang Karancang, ibunda Nyi
Mas Ratu Rarasantang yang berguru pada Syekh Quro, dengan Pemanah Rasa, calon Raja Sunda, gagal,
tidak berhasil mengIslamkan tanah Sunda, sehingga mereka membuat strategi
dakwah baru dengan cara kaderisasi potensi calon-calon pendakwah baru. Salah
satu caranya adalah mengawinkan anak-anak perempuan keturunan raja-raja Jawa
dengan keturunan raja-raja di Timur Tengah, yang keturunan Rasulullah, sehingga
keturunannya yang akan menyebarkan agama Islam kelak memiliki legitimasi,
karena mereka memiliki hak waris dari ibu mereka.
Pada
tahun 1448 M, Syarifah Mudaim yang dalam
keadaan hamil tua menunaikan ibadah haji kembali. Di Kota Mekah ia melahirkan
Syarif Hidayatullah di Kota Mekah. Dua tahun kemudian lahirlah Syarif Nurullah,
adik Syarif Hidayat.
Syarif Hidayat, keponakan Pangeran Cakrabuana dibesarkan
di negara ayahnya, Mesir. Syarif Hidayat tumbuh
menjadi pemuda yang cerdas. Syarif Hidayat sangat taat menjalankan
syariat Islam. Ia seorang muslim yang takwa. Syarif Hidayat gemar mempelajari
ajaran Agama Islam. Ia bercita-cita mengajarkan dan menyebarkan agama Islam.
Pada usia 15 tahun, ia membaca dan mempelajari sebuah kitab (Muhammadiyyah).
Sehingga
ketika berusia dua puluh tahun, pergi ke
Mekah, berguru kepada Syekh Tajuddin
al-Kubri/ Najmuddin. Naskah Kuningan (Lampiran IV) menjelaskan tentang Syarif
Hidayat yang berguru kepada Syekh Tajuddin. Kepada Syekh Tajuddin, Syarif
Hidayat belajar adab para guru, dzikir, silsilah, shugul, Tarekat Isqiyah, dan adab Syatori[10].
Ia juga belajar tentang ilmu syariat, ilmu tarekat, ilmu hakekat dan ilmu
makrifat. Pada saat berguru pada Syekh Tajuddin, Syarif Hidayat diberi nama
Madkurullah.
Setelah
dua tahun lamannya, Syarif Hidayat kemudian menuntut ilmu tawasul rasul pada Syekh Athaullah Sadili, yang bermahzab Syafi’i di Bagdad. Darinya Syarif Hidayat
juga belajar istilah Sirr (Sirrullah), Tarekat Syaziliyah, Tarekat Syatariyah, Isyki Naqisbandiyah, dzikir
jiarah, bermeditasi, riyadhah (latihan tarekat/sufi) di
tempat-tempat suci. Oleh Syekh
Athaullah, Syarif idayat diberi nama Arematullah.
Setelah itu ia kembali ke negara ayahnya, dan diminta
untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk
pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama pamannya,
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana. Posisi Raja Mesir
diserahkan dari Patih Ongkhajuntra, paman Syarif Hidayat kepada oleh adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif
Hidayat memiliki banyak nama yaitu Sayyid Kamil dan Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Sultanil
Mahmud al Kibti[11]. Kemudian Sayid Kamil pergi ke pulau Jawa, di
perjalanananya ia singgah di Gujarat,
tingal disitu selama tiga bulan, selanjutnya ia tingal di Paseh (Pasei). Di
Paseh, Syarif Hidayat tinggal di pondok saudaranya selama dua tahun, yaitu
Sayid Ishaq [12],
bapak Raden Paku/ Sunan Giri, yang menjadi guru agama Islam di Paseh di
Sumatra. Saat di Pasai ia berguru Syekh
Sidiq jati wisik (ajaran sejati), ba’iyat
serta muhal maha, talkin dalam dzikir sirr, tarekat Muhammadiyah, Anapsiah,
dan Jaujiyah Makomat Pitu[13],
serta melakukan kanaat dan uzlah.
Kemudian
Syarif Hidayat pergi ke ke pulau Jawa, singgah di negeri Banten. Disini banyak
penduduk telah memeluk agama Rasul, karena Sayyid Rahmat (Ngampel Gading) telah
menyebarkan Agama Islam di sini, yang di gelari Susuhunan Ampel, juga salah
seorang saudaraanya.
Maka
berangkatlah Syarif Hidayat pergi ke
Ngampel dengan naik perahu milik orang Jawa Timur. Perjalanan Syarif Hidatyat
berguru pada beberapa orang tertulis dalam Kitab Negara Kertabhumi .
Setelah
menuntut ilmu, di Ampel diadakan pertemuan para wali dan Sayid Kamil menerima
tugas di negeri Carbon, yaitu di Gunung Sembung, karena disana tempat tinggal
uwanya, yaitu Haji Abdullah Iman yang menjadi Kuwu Carbon kedua.
Di
Cirebon Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, telah mempersiapkan suksesi
kepemimpinan jauh hari sebelum kedatangan Syarif Hidayat. Suksesi kepemimpinan
tersebut disimbolkan dengan sebuah kotak berisi pedang dan surat. Dimana dalam
kebiasaan orang barat dan timur, serah terima tampuk kepemimpinan ditandai
dengan penyerahan pusaka, yang dalam hal ini berupa golok cabang dan sebuah
surat mandat.
Syekh
Maulana berhasil mengalahkan pesaingnya yaitu Pangeran Panjunan dan Pangeran
Carbon. Selain karena kalah ilmu, kalah pengalaman, Pangeran Panjunan tidak
memiliki hak waris dari garis ibu. Sedangkan Pangeran Carbon, selain kalah ilmu
dan pengalaman, ia tidak memiliki hak waris dari jalur Rasulullah.
Syekh
Maulana kemudian diangkat menjadi raja.
Ia mengudang kepada Sunan Kalijaga, Pangeran Drajat, Pangeran
Makdum, Pangeran Luwung, Pangeran Sendang, Pangeran Tayuman, Pangeran Reken di
Losari, Pangeran Pasalaka, Pangeran Magrib, Pangeran Gagak Lumayu, Pangeran
Satang Lumari, Pangeran Kajaksan, Pangeran Plangon, Pangeran Karang Kendal,
Pangeran Bramacari, Pangeran Welang, Pangeran Supekik, Pangeran Carbon Girang,
Pangeran Wanacala, Pangeran Sucimana, dan Pangeran Kedung Soka.
Para
pembesar berkumpul untuk melaksanakan penobatan Syekh Maulana menjadi Susuhunan
di Pakungwati, disaksikan oleh ibundanya Nyi Mudaim serta Uwanya sunan Rangga/
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, dan kakandanya Pangeran Jakerta, Raja Cempa.
Pangeran Panjunan dan pengikutnya mendukung dengan cara membangun
pagar-pagarnya, membuat pintu-pintu kerajaan, merancang pedaleman serta menyiapkan
tukang batunya. Turut datang Raden Sepat dari Majapahit, yang mempunyai
hubungan keluarga dengan Pangeran Panjunan. Ki Gedeng Kagok Garenjeng, Pangeran
Reken turut membantu Susuhunan.
Syekh
Maulana diangkat oleh uwaknya pada tahun 1479 M dengan gelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba
Panetep Panatagama Aulia Allah Kutubizaman Kholifatur Rosulullah Shallollahu
Alaihi Wassalam[14]
dengan didukung oleh semua pembesar di pesisir Sunda. Sementara itu Wali Sembilan yang hadir menyambut gembira penobatan Susuhunan Jati.
2. Reaksi Pangeran
Carbon
Pangeran
Carbon merupakan anak dari Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dengan Ratna
Risis. Pangeran Carbon setelah dewasa dinikah dengan Nyi Cupluk, putri Ki
Gedeng Trusmi. Dari pernikahan mereka berputra anak sulung laki-laki, yaitu
Pangeran Trusmi/ Pangeran Mangana Jati. Isterinya yang kedua yaitu Nyi Mas Kencana Sari, puteri Pangeran
Panjunan dengan Nay Matang Sari. Dari pernikahannya, pangeran Carbon dengan Nay
Mas Kencana Sari berputera laki-laki, Ki Gedeng Carbon Girang namanya.
Pangeran Carbon sangat menghormati
ayahnya, sehingga ia tidak berkeberatan jika Syekh Jati yang menggantikan
posisi ayahnya menjadi penguasa Carbon.
Namun karena berguru kepada Syekh
Lemah Abang yang beraliran Syiah
Almuntazar dan berambisi menjadi Raja Tanah Jawa, pada saat Susuhunan Jati
berkuasa selalu terjadi perselisihan antara bala tentara Carbon dengan para ki
gede yang memusingkan Kanjeng Sinuhun. Sehingga ketika Raja Demak, Raden Patah
mengirimkan surat melakui Sunan Kudus[15]
untuk meminta bantuan mengatasi masalah Pengging (Syekh Siti Jenar/ Syekh Lemah
Abang dan para pengikutnya), Susuhunan bersedia membantu, hingga berakhir pada
ditangkapnya Syekh Siti Jenar dan di jatuhi hukuman mati, yang dilaksanakan
oleh Sunan Kudus. Pelaksanaan eksekusi Syehk Siti Jenar sebenarnya bukan hanya
masalah aliran dan mahzab, namun lebih kental nuansa politik.
KEBIJAKAN POLITIK PEMERITAHAN SUNAN GUNUNG
JATI
I.
Memerdekakan diri dari Kerajan Pajajaran
a.
Deklarasi
Pangeran Walangsusang Cakrabuana. Ketika Syarif Hidayat
diangkat tumenggung oleh uwanya, agama Islam sudah berakar luas sampai di
Kuningan dan Luragung. Atas dasar itulah, Syarif Hidayat dengan dukungan para kamastu
(wali) memutuskan bahwa Cirebon harus menjadi Negara pusat kekuatan agama islam
yang merdeka pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra 1404 Saka (Maret/April
1482 Masehi). Momentum ini dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon, yaitu
pada tanggal 2 April 1482 M[16].
Ketika berita itu sampai di Pakuan,
Sri Baduga mengutus Tumenggung Jagabaya bersama anak buahnya untuk
“menertibkan” Cirebon dan mengatasi keadaan.Akan tetapi Jagabaya di sergap di
dekat Gunung Sembung oleh pasuakan gabungan Cirebon-Demak. Pasukan Demak dibawa
ke Cirebon oleh Raden Patah ketika ia menghadiri penobatan Susuhunan Jati.
Ketika ia pulang, sebahagian pasukannya ditinggalkan di Cirebon untuk menjaga
kemungkinan adanya serangan dari Pakuan. Jagabaya bersama pasukannya kemudian
masuk Islam.
Karena Jagabaya lama tidak kembali,
Sri Baduga lalu mempersiapkan pasukan besar untuk menyerang Cirebon. Namun niat
tersebut dapat di cegah oleh purohita (pendeta tertinggi keratin), Ki
Purwagalih.mungkin kedudukan Syarif Hidayat sebagaicucu sang Maharaja dan ia
pun di nobatkan oleh Pangeran Walangsungasang telah meredakan murkanya. Seorang
kakek yang memerangi anak dan cucunya tentu akan di cemoohkan orang. Walaupun
demikian tokoh setinggi purohita Ki Purwagalih ini dalam Babad Padajaran“
dijadiakan” panakawan Guru Gantangan dengan tingkah laku ala Karang Tumaritis.
II.
Pendirian Masjid Negara
Pusat
pemerintahan Cirebon berada di Keraton Pakungwati, sehingga wajarlah apabila ingin memiliki
masjid jami yang representatif sesuai bentuk kepemimpinan Sunan Gunung Jati.
Sehingga tercetuslah ide pembuatan Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Pengerjananya
dilakukan oleh sejumlah 500 orang dipimpin oleh Sunan Kalijaga dan Raden Sepat
sebagai arsiteknya, yang sebagaimana juga pembangunan masjid Demak, di bawah
pengawasan para wali yang diketuai oleh Sunan Kalijaga.[17]
Masjid Agung Cirebon, yang sekarang terletak di sebelah barat
alun-alun Kasepuhan, bernama Masjid
Agung Sang Cipta Rasa, merupakan hasil kerja orang Demak
dan Cirebon. Menurut inskripsi yang tertera di blandar sayap selatan masjid, nama
masjid tersebut adalah Masjid Agung Pakungwati, sesuai dengan nama istananya
yang bernama Dalem Agung Pakungwati,
yang diambil dari nama putri Pangeran Walangsungsang Cakrabuana yaitu Nyi Mas
Pakungwati.
Menurut
Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, ide dan peletakan batu pertamanya memakai
Candra Sangkala, yang berbunyi: mungal
mangil (1) mungup (1) jembling (4) gateling
asu (1), yaitu tahun 1411 Saka/ 1489 Masehi.[18]
Adapun Masjid Agung Sang Cipta Rasa baru selesai dibangun pada tahun 1500
Masehi, dengan candra sengkala yang berbunyi waspada (2) panembahe (2),
yuganing (4), ratu (1). Yaitu tahun 1422 Saka. Hal ini karena setelah melakukan
peletakan batu pertama Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon, terlebih dahulu
para wali mendirikan Masjid Agung Demak atas permintaan Sultan Demak, Raden
Patah.[19]
IV.
Gerakan Islamisasi
a.
Kesenian
-
Gembyung atau Brai
Ada yang berpendapat, bahwa istilah Brai berasal dari
kata Arab “baroya” atau “birahi" yang berarti puncak
kenikmatan hubungan antara manusia dengan Sang Maha Pencipta.Dalam ajaran Mahabbah,
hubungan antara manusia dengan Tuhan bias di capai dengan beberapa tahapan,
tegantung kemampuan manusia dalam membuka hijab atau batas yang menghalangi
hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta. Birahi adalah puncak tahapan
teringgi dari yang bias dicapai manusia dalam menggapai kecintaannya pada Allah
SWT sehingga apabila sudah sampai pada maqom ini, manusia akan lupa pada
yang selain Allah SWT sebab hatinya sudah di dominasi oleh lautan kenikmatan.
-
Topeng
Topeng adalah salah satu kesenian tradisional Indonesia
yang telah tumbuh dan berkembang sejak abad ke-10 s.d 11 M. Pada saat Cirebon
menjadi pusat pengembangan syiar agama islam, Sunan Gunung Jati bersama dengan
Sunan Kali Jaga, mengangkat kesenian wayang dan tari topeng menjadi tontonan di
Keraton yang juga berfungsi sebagai tuntunan dalam penyebaran agama Islam.
1.
Panji
Tarian
panji ditampilkan pada urutan pertama.Wajah btopeng ini berwarna putih berseri,
lambing kebersihan dan kesucian, bagaikan bayi yang baru dilahirkan,
karakternya halus dan alim.
2.
Pamindo
Pamindo
merupakan tarian kedua.Tarian ini menggambarkan tarian seseorang yang mulai
memasuki masa remaja, yang cenderung berpikir emosional, dan penuh dengan
semangat yang bergelora.Rias wajahnya putih berseri dihiasi rambut keriting
(ikal) karakternya genit dan lincah.
3.
Rumyang
Rumyang
berasal dari kata arum dan myang (harum dan semerbak), kata
‘rumyang’ merupakan ungkapan dari keadaan remaja yang semangatnya selalu
optimis dan penuh percaya diri.Tarian ini menggambarkan seseorang yang mulai
dewasa dan mengerti arti kehidupan.Rias wajahnya berwarna oranye sebagi lambing
peralihan dari masa remaja ke masa dewasa.Karakternya agak genit bercampur
alim.
4.
Tumenggung
Tumenggung
berkarakter gagah dan tangguh.Rias wajahnya berwarna merah, berkumis tipis,
menggambarkan seseorang yang punya kedudukan dan tanggung jawab yang tinggi
sesuai kedewasaannya.
5.
Klana
atau Rahwana
Kalana
berwarna merah padam, berkumis tebal menyeramkan, dan melambangkan karakter
gagah dan besar.Tarian ini menggambarkan tarian yang serakah, angkuh, murka,
dan tidak dapat mengendalikan diri, sekaligus menggambarkan puncak fase kehidupan
manusia yang selalu berkelana dalam kebebasan dari pengaruh hawa nafsu.Gerak
tersebut melambangkan mampu menertawakan kepandiran diri sendiri.
b.
Pengadilan
Islam
Masjid merupakan
pusat segala aktivitas kenegaraan termasuk juga merupakan tempat dilangsungkannya
peradilan. Pengadilan hokum dilaksanakan oleh pimpinan agama yang tertinggi,
yaitu Sunan Gunung Jati sebagai ulama sekaligus umaronya. Proses pelaksanaan
hukuman harus sepersetujuan Sunan Gunung Jati.
Pelaksamaan pengadilannya disaksikan
oleh masyarakat dengan rasa hormat yang cukup besar dan proses pengadilan yang
adil. Setelah peradilan Syekh Siti Jenar, Jaksanya untuk pertama kalinya
sebagai penuntut umum Pangeran Kejaksan, sehingga diambil dalam sejarah
adiyaksa.
KEHIDUPAN RUMAH TANGGA SUSUHUNAN JATI
Istri pertama Sunan Gunung Jati adalah Nyi Mas babadan.
Setelah menikah Nyi Mas Babadan dibawa ke Gunung Sembung. Pernikahannya dengan
Nyi Mas Babadan tidak dikaruniai putra.Pada tahun 1475 M Syarif Hidayatullah
menikahi Nyi Mas Kawunganten. Pada
tahun 1477 M Nyi Mas Babadan meninggal dunia tanpa dikaruniai putra. Di tahun
yang sama dari pernikahannya dengan Nyi Kawunganten, Syarif Hidayatullah
memperoleh putri yaitu Ratu Winaon dan tahun 1478 M dan memperoleh putra yaitu
Pangeran Sebakingkin, yang kelak menjadi raja di Banten.
Berdasarkan Naskah
Sajarah Lampahing Para Wali Kabeh, Pangeran Cakrabuana menyerahkan anaknya
sebagai persembahan pengabdiannya kepada Syarif Hidayatullah. Syarif
Hidayatullah menikah dengan Nyi Mas Pakungwati pada tahun 1478 M. Setelah Syarif Hidayatullah mendapat petuah/ nasihat dan izin dari Sunan Ampel, beliau pergi ke Negeri Cina
untuk mengembangkan agama Islam. Di sana Sunan Gunung Jati bertemu Putri Ong Tin
Nio. Putri Ong Tin Nio yang telah jatuh
hari pada Syekh Syarif . Ketika Sunan Gunung Jati kembali ke tanah Jawa, Putri
Ong Tin untuk menyusul Syekh Syarif ke tanah Jawa dengan memberikan tiga buah kapal dengan 150 orang awak kapal, lengkap dengan cinderamata berupa peralatan rumah
tangga, piring, cangkir, guci, sutera, dan lain-lain di bawah pimpinan seorang
panglima yang bernama Lie Gwan Tjang dan nakhoda Lie Gwan Hien.
Setelah kapal
tersebut berlayar dan berlabuh di Pelabuhan Muara Jati,
di sana mereka bertemu dengan orang Keling. Menurut orang-orang Keling, ternyata Syekh
Syarif sedang berdakwah di daerah sekitar Gunung Ciremai
(Luragung, Kabupaten Kuningan sekarang).
Rombongan Putri Cina tersebut kemudian menyusul ke tempat
Syekh Syarif berdakwah.
Setelah rombongan Putri Cina yang dipimpin Patih Cina berjumpa dengan Syekh
Syarif, Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, beserta para
muridnya, kemudian Patih Cina menyampaikan keperluannya yaitu
hendak “mengobati” Putri Cina. Sang Putri bertemu Syekh Syarif di Luragung.
Pamanda Putri Ong Tin Nio kemudian menyampaikan maksud bahwa Putri Ong Tin Nio
berniat berbakti pada Syekh Syarif. Kemudian, ia mewakili Putri Ong Tin Nio
menyampaikan lamarannya. Sebagai lamaran
Putri Ong Tin Nio, diserahkanlah
harta benda dan 150 orang pengikut Putri Ong Tin
Nio.
Atas persetujuan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana,
berdasarkan pertimbangan penyebaran Islam, dakwah dan mepererat hubungan
antarnegara, maka diterimalah lamaran dan
penyerahan tersebut oleh Syekh Syarif. Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Ong Tin Nio pada tahun 1481 M. Pernikahan
Sunan Gunung Jati dan Putri Ong Tin Nio tidak memiliki keturunan.
Beberapa tahun kemudian Putri Ong Tin wafat,
tepatnya pada tahun 1485 M[20].
Beliau meninggal di hadapan Syekh Maulana. Wafatnya Putri
Ong Tin membuat duka cita yang amat dalam bagi Syarif Hidayatullah Jenazahnya
atas kehendak Syekh Maulana dimakamkan di Dalem Pura, di Puncak Gunung Sembung,
sebagai penghargaan atas sifat Putri Ong Tin Nio yang sangat
berbakti kepadanya.Syekh Maulana kemudian berwasiat apabila beliau wafat, dimakamkan pula di Gunung
Sembung, dekat makam istri tercintanya Putri Ong Tin. Pernikahan
Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tin Nio membawa dampak sosial budaya yang
luar biasa, terutama dalam hal alkulturasi budaya di Cirebon. Hal ini masih
dapat kita lihat sampai sekarang di berbagai bidang, banyak pengaruh budaya
Cina yang akhirnya menjadi local geniu.
Sepeninggal Putri Ong Tin Nio, Syekh Datul Kahfi
menyerahkan Rara Bagdad, anaknya untuk dinikahi oleh Sunan Gunung Jati.
Diharapkan Rara Bagdad dapat berbakti pada Sunan Gunung Jati dan melipur lara
Sunan Gunung Jati karena ditinggal oleh Putri Ong Tin Nio. Sunan Gunung Jati
kemudian menikah dengan Nyi Rara Bagdad (Syarifah
Bagdad/Fatimah/Nyi Mas Penatagama Pesambangan),
pada tahun 1485 M. Darinya lahir dua
orang putra yaitu Pangeran Jaya Kelana yang wafat pada usia muda dan Pangeran
Bratakelana yang wafat di laut setelah pernikahannya dengan Ratu Nyawa karena
dibunuh oleh bajak laut. Kemudian pada tahun 1490 M Sunan Gunung Jati menikah
dengan Nyi Mas Tepasari, putra Ki Gedeng Tepasan dari Majapahit. Pada tahun 1493 Nyi Mas Tepasari melahirkan
Ratu Ayu yang kelak menikah dengan Faletehan dan memiliki seorang putri yang
bernama Nyi Mas Wanawati Raras. Kemudian, pada tahun 1495 M melahirkan Pangeran Pesarean yang kelak
menurunkan raja-raja Cirebon. Pernikahan dengan Nyi Mas Tepasari membawa
perubahan berarti bagi perkembangan tata kepemerintahan di Cirebon. Segala
kebudayaan yang ada di Cirebon, terutama budaya Sunda, dirubah menjadi budaya
orang Jawa Timur yang dianggap lebih maju peradabannya. Sehingga tidak
mengerankan bila budaya Cirebon lebih mirip pada budaya Jawa Timur dibandingkan
dengan budaya Sunda.
KESIMPULAN
1.
Kesuksesan
Walisanga mengislamkan pulau Jawa secara masal merupakan hasil dari strategi
dakwah yang matang selama bertahun-tahun. Kaderisasi tersebut merupakan
scenario yang sengaja dipersiapkan oleh para pendakwah Islam sebelumnya
sebelumnya.
2.
Perkembangan
dakwah Islam tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam dunia. Dan proses
pencapaian keemasannya merupakan suatu rangkaian perjuangan dakwah yang panjang
baik secara damai maupun dengan kekerasan.
3.
Institusi
yang mendorong terbentuknya masyarakat Islam telah dipersiapkan oleh Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana secara matang. Sehingga proses suksesi dari Pangeran
Walangsungsang Cakrabuana kepada Sunan Gunung Jati dapat berjalan sesuai
keinginan banyak pihak.
4.
Sunan
Gunung Jati tidak hanya menerima tampuk pimpinan begitu saja. Semasa
pemerintahannya ia menata pemerintahannya sehingga Cirebon dapat menjadi sebuah
Negara yang merdeka. Kokoh dengan perangkat kenegaraannya.
5.
Istri
Sunan Gunung Jati turut membawa perubahan besar dalam perubahan sosial budaya
dan stuktural pemerintahan di Cirebon.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Hamam Rochani, Babad Cirebon, (Cirebon
: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, 2008
Ahmad Mansur Suryanegra, Api Sejarah, Bandung :
Salamadani Pustaka Semesta, 2009
Anonimus.
2001. Atlas Dunia, Indonesia dan Sekitarnya. Solo : UD. Mayasari.
Anonimus.
Kamus al-Marbawi.
Ansari,
Tamim. 2012. Dari Puncak Bagdad, Sejarah
Dunia Versi Islam. Terjemahan : Destiny Disrupted : A History of the World
thougth Islamic Eyes. 2009. Jakarta: Zaman.
Atja. 1986. Carita
Purwaka Caruban Nagari. Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Karya
Pangeran Arya Carbon. Proyek Pengembangan
Permuseuman Jawa Barat.
Armando Corteso (Ed), The Summa Oriental of Tome Pires : An Account of The East , London
: Haklyut Society.
Berg,
H.J. Van Den alih bahasa Dr. H. Kroeskamp dan I.P. Simandjoentak, 1951. Dari Panggung
Sedjarah Dunia I, India, Tiongkok dan Djepang Indonesia, Djakarta : J.B.
Wolters, Groningen.
Cortesao,
Armando. 1994. The Summa Oriental of Tome Pires. 2 Jilid. London.
The Hakluyt Society.
Dahuri, Rokhmin. 2004. Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon. Jakarta : Percetakan
Negara Republik Indonesia.
Dadan Wildan, Sunan
Gunung Jati (Antara Fakta dan Fiksi), Pembumian Islam dengan Pendekatan
Struktural dan Kultural, Bandung : Perum Percetakan Negara RI, 2003
De
Graaf, H.Y.,dkk. 1994. Cina Muslim di
Jawa Abad XV dan XVI : Antara Historis dan Mitos. Trejemahan Chinese Muslim in
Java in the 15th and 16th Centuries.The Malay Annals of Semarang and
Cerbon.1984. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.
Djoko N, Irawan.
2011. Majapahit. Peradaban Maritim Ketika Nusantara menjadi Pengendali
Pelabuhan Dunia. Jakarta. Yayasan Suluh Nusantara Bakti.
Ekajati,
Edi S. 1991. Pustaka Nagara Kreta Bhumi.
Parwa I Sargah 3. Jakarta: Yayasan Pembangunan Jawa Barat, Tim Penggarapan
Naskah Pangeran Wangsakerta.
Ekajati,
Edi S. 1991. Pustaka Nagara Kreta Bhumi.
Parwa I Sargah 4. Jakarta: Yayasan Pembangunan Jawa Barat, Tim Penggarapan
Naskah Pangeran Wangsakerta.
Ghofar,
Abdul. Mengaji pada Sunan Gunung Jati.
Cirebon : Yayasan Pradipta Desa Astana Gunung Jati.
Grosier,
Bernard Philippe. 2007. Indocina,
Persilangan Kebudayaan. Cetakan Kedua. Bogor : Grafika Mardi Yuana.
Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Ombak,
2007
Iskandar, Yoseph. 1997. Sejarah Jawa Barat. (Yuganing Rajakawasa). Cetakan Kelima. CV. Geger
Sunten Bandung.
Koentjaraningrat.
1990. Pengantar Antropologi, Rineka Cipta.
Cetakan Kedelapan.
Kuntowiojoyo, Metodologi
Sejarah, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003
Jan Verster,
Hasil Penelitian Arkeologi dan Arsitektur Keraton Cirebon, Jakarta, 1991
Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa : Silang Budaya, Kajian Sejarah
Terpadu, Bagian II : Jaring Asia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Louis Gottschalk, Mengerti
Sejarah, (Terj) Nugroho Notosusanto, (Jakarta : UI-Press, 1986
Mahmud Rais, Sejarah Cirebon, naskah tulisan tangan,
1959
Nabilah Lubis, Filologi,
Naskah, Teks, dan Metodologi Penelitian, Jakatra : Puslitbang Lektur
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2007
Proyek Pendataan Kesenian. 2001. Himpunan Deskripsi Kesenian Daerah Cirebon.
Cirebon.
Rahmat Aziz Al-Banjari, “Perjuangan Politik Walisongo” Makalah Seminar hlm. 9 yang dikutip
dari buku karya Hasan Simon, Misteri
Syaikh Siti Jenar Peran Walisongo dalam Mengislamisasikan Tanah Jawa,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
R.A. Kern dan Hoesein Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon
(Terj), Jakarta : Bhratara
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta :
Gramedia, 1993), hlm. 120-121. Penulis kutip dari Adzkiyak Perubahan Sosial ekonomi Masyarakat Nelayan Lamongan 1930-1965, Tesis
UGM, 2008
Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam
Budaya. Buku Kedua. Jakarta
: Wedatama Widya Sastra.
Sjamsuddin,
Helios.2008. Metodologi Sejarah. Yogyakarta:Ombak.
Edisi ke-2.
S.K. Kochhar, Pembelajaran
Sejarah, (Terj), Purwanta dkk, Jakarta : Grasindo, 2008
Soekmono,
R. 1984. Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia. Jilid 1,2,3. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Subrata,
Teja. 2008. Sejarah Carubban Kawedar.
Alih Aksara Alih Bahasa oleh Raden Suchri Hidayat. Kabupaten Cirebon : Badan
Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata.
Sudibyo dan Sudjana. 1980. Carrub Kandha Carang
Seket. Alih Aksara Alih Bahasa. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudjana, T.D. Naskah
Negara Kerthabumi Tritiya Sarga, Alih Bahasa dan Alih Aksara (Buku ke-3).
Sudjana, T.D., 2003.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan
Muatan Mistiknya. Jakarta : Percetakan Negara Republik Indonesia.
Suleman Sulendraningrat, P. Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon.
Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Walisongo. Jakarta. Pustaka Iman.
Susanto Zuhdi (Penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta : P&K, 1996
Tjandrasasmita,
Uka. 2006. Kajian Naskah-naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam
di Indonesia. Jakarta : Puslitbang
dan Diklat Departemen Agama Republik Indonesia.
Tim Keraton Kasepuhan, Babad Cirebon, alih aksara, Jakarta : Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, 2003
Tim Keraton Kasepuhan, Babad Galuh I, alih aksara, Jakarta : Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, 2003
Tim Keraton Kasepuhan, Babad Galuh II, alih aksara, Jakarta : Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia, 2003
Tim Keraton Kasepuhan Cirebon. 2003. Serat Catur Kanda, Punika Wewacan Sujarah
Kagungan Dalem Bupati Rahaden Adipati Harya Suraadiningrat, Jakarta ;
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Unang Sunardjo, Masa
Kejayaan Kerajaan Cirebon Kajian dari Aspek Politik dan Pemerintahan,
Cirebon : Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon, tt
Wojowasito, S. 1977. Kamus Kawi Indonesia. Malang : CV. Pengarang.
Wahju,
Amman
N. 2005 . Sejarah Wali Syekh Syarif
Hidayatullah Naskah Mertasinga. Alih Aksara.
Wildan, Dadan. 2003. Sunan Gunung Jati (antara Fiksi dan Fakta)
Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. Jakarta : Perum
Percetakan Negara RI.
Yunardi, Badri.2009 H. Sajarah Lampahing Para Wali
Kabeh. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI.
[1]
Hoop, 1949.
[2]
Sunyoto Agus, dalam Atlas Walisongo hal 31.
[3]
Lahir di Malaka dan menjadi utusan Raja Campa
untuk menyebarkan Agama Islam.
[4] Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan
bahwa dari dahulu sampai sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi
yang berkualitas baik, dan ada juga yang menyatakan bahwa “grage” berasal dari
kata “glagi,” yaitu udang kering untuk membuat terasi.
[5]
Pustaka Negara Kretabhumi
[6] Perubahan
nama ketika seseorang tuntas mengalami satu fase kehidupannya merupakan
pengarus Islam. Nama hindu berubah menjadi nama Islam disebut Totemisme.
[7] Penguasaan di Mesir saat itu berdasarkan
system Mamluk, sehingga dimungkinkan seseorang keturunan penguasa Palestina
keturunan Campa dapat menjadi salah penguasa di Mesir.
[8] Bukit Tursina merupakan bukit suci tempat Nabi
Musa as menerima Ten of Commandement (sepuluh perintah Tuhan).menjadi pemimpin
di tanah Jawa berlatar belakang
[9] Nyi Mas Ratu Rarasantang meminta salah seorang
putranya agar menjadi pemimpin di tanah Jawa berlatar belakang kesedihan
terhadap ayahnya, Prabu Siliwangi,
keluarganya dan rakyat Padjajaran yang memeluk agama Hindu pasca
ibundanya, Nyi Mas Ratu Subangkarancang meninggal dunia. Keinginan Nyi Mas Ratu
Rarasantang tersebut terdapat dalam
Sinom Serat Catur Kanda hal 10-11. Perjanjian tersebut belatar belakang
pula dari nasehat-nasehat yang diterima oleh Nyi Mas Ratu Rarasantang pada saat
bertemu Syekh Quro, Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi yang secara
tidak langsung mensugestinya.
[10] Syatoriyah berkembang di Mandu, India (sebelah
timur Gujarat) dengan pesat setelah dipopulerkan oleh Abdullah Syatori, yang
wafat di India pada 1236 M (633 H). Ia adalah keturunan Syekh Syihabuddin
Suhrawardi yang dikirim oleh gurunya, Syekh Muhammad Arif, ke India.
Berdasarkan informasi ini kemungkinan Abdullah Syatori lahir dan menjalani masa
pendidikannya di Persia.
[11] Pustaka Negara Kertabhumi hal.
133
[12] Sayyid Ishaq merupakan saudara
sepupu Syekh Nurjati yang menikah dengan Ratu Blambangan.
[13] Tarekat Jaujiyah didirikan oleh Ibnu Qayim al
Jauziyah(691-751 H) atau Muhammad Abi Bakar bin Ayub Sa’ad bin Harist al Zar’I
Damsyqi Abu Abdullah Syamsuddin, dilahirkan di kota Damaskus.
[14] Pangeran
Suleman Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon, hal. 35.
[15]
Sunan Kudus merupakan pimpinan angkatan bersenjata kerajaan Demak.
[16]
T.D. Sujana. 2003. Hal. 7.
[17]
Masjid Agung Sang Ciptarasa ini memiliki nuansa rasa cipta yang mengental.
Nuansa yang berasal dari kedalaman rasa yang hakiki, seperti mengentalnya rasa kawula dengan Gusti (manunggaling kawula Gusti). Menyatunya
rasa kawula-Gusti, berarti bahwa Sang
Pencipta sajalah yang memiliki segala rasa, sementara sang mahluk hanyalah
memiliki keikhlasan dan keridhoan dalam segala ketawakalannya. Oleh karena itu,
Masjid Agung Sang Ciptarasa menjadi perhatian muslim dunia, yang sekaligus
menjadi kebanggaan masyarakat pendukungnya. Lihat T.D. Sudjana, Masjid Agung Sang Ciptarasa dan Muatan
Mistiknya (Bandung: Humaniora Utama Press, 2003), hlm. 2.
[18]
Seperti atap pada Masjid Demak, Masjid Cirebon pun atap tengahnya ditopang oleh
empat tiang kayu raksasa. Hanya tiga buah yang utuh, salah satu di antara tiang
itu disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
[19]
T.D. Sujana, hlm 8-10.
[20]
Atja, 1972, 10-11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar