Total Tayangan Halaman

Minggu, 28 April 2013

Sekilas Sejarah Cirebon


SEJARAH CIREBON
Cirebon merupakan salah satu daerah di Indonesia yang lokasinya terletak di bibir Pantai Utara Jawa bagian barat. Cirebon adalah tempat yang memiliki daya tarik tersendiri bagi banyak orang. Banyak orang  baik dari kalangan masyarakat maupun dari kalangan akademisi, baik lokal maupun internasional berkunjung ke Cirebon dengan berbagai tujuan. 
Perkembangan kebudayaan yang terjadi di Cirebon pada zaman pra sejarah, hingga terjadinya proses asimilasi kebudayaan satu dengan kebudayaan lain, baik kebudayaan lokal maupun kebudayaan dunia seperti Cina, India, Arab, Parsia berkembang secara harmonis tanpa menimbulkan friksi diantara pekakunya. Kebudayan tersebut berpadu bahkan akhirnya memunculkan kebudayaan baru tersendiri yang khas sehingga menjadi sebuah keunikan lokal (local genie) yang menjadi asset dari kebudayaan Cirebon.
Tradisi menulis di Cirebon yang tercatat pada abad  ke-15 baik tulisan sejarah, kesusastraan, keagamaan pada akhirnya menjadi surganya ilmu bagi generasi sekarang terutama dalam bidang pernaskahan selain Yogyakarta, Solo dan Aceh. Cirebon sebagai pusat ilmu pada zamannya memiliki kekayaan intelektual yang tiada habis untuk diteliti maupun dibahas. Demikian juga sisi sejarah belum banyak diungkapkan pada masyarakat luas. Sehingga kota Cirebon member brain pariwisatanya dengan Cirebon the gate of secret.
Cirebon dalam penggalan sejarahnya menjadi tempat bersemainya dakwah Islam sehingga kawasan yang terislamisasi pada masa-masa awal kedatangannya sekaligus menjadi jembatan bagi tersebarnya agama Islam ke wilayah pedalaman Jawa Barat.
Cirebon semakin beruntung lagi ketika hadir seorang wali kutub yang pada yang pada puncak kejayaannya, hingga akhirnya berhasil mengislamkan Jawa bagian Barat dengan strategi dakwahnya yang cemerlang. Perjuangan Sunan Gunung Jati saat itu hingga kita masih dapat dirasakan oleh anak cucu keturunan dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas pada akhirnya dilakukanlah penelitian untuk penulisan sejarah Cirebon agar dapat dijadikan mutiara hikmah bagi kita semua pelaku sejarah pada masa sekarang agar dapat meneladani  hal-hal yang baik yang telah dirintis oleh para pendahulu kita. Selain itu juga diharapkan menjadi bahan kajian sejarah yang berguna bagi generasi penerus bangsa, agar mereka mengenal sejarahnya.

TRANFORMASI ISLAM DARI GERAKAN KULTURAL KE INSTITUSI POLITIK
A.    Cirebon Sebelum Islam
Cirebon merupakan daerah lama, dimana pada zaman mesolihticum sudah ditemukan peradaban para nenek moyang kita. Di desa Pejambon, Kabupaten Cirebon pernah ditemukan arca gajah megalitik. Bentuk arca gajah itu digambarkan sangat sederhana dalam posisi duduk, kaki belakang berlipat. Belalai menjulur ke depan, sementara kaki depan tidak nampak. Arca seperti ini merupakan media pemujaan dari masa mesholitik yang berlanjut ke masa Hindu.[1] Begitu pula di daerah Cipari, Cisantana, Kabupaten Kuningan, di sana juga telah ditemukan peradaban kebudayaan manusia. Peradaban manusia berlangsung terus ke jaman perunggu hingga jaman sejarah.
Pada abad ke-5 M, gelombang Budhisme datang dari Cina di bawah pemerintahan Dinasti Selatan melalui jalur laut, dibawa oleh para pendeta Budha ke nusantara dan Cirebon tidak lepas dari daerah yang mendapat pengaruhnya.

1.       Organisasi Masyarakat dan Sistem Pemerintahan
Organisani Masyarakat dan Pemerintahan  sudah terbentuk sebelum Islam masuk ke Cirebon.  Masuknya Islam membawa damapak perubahan dalam struktur organisasi masyarakat dan pemerintahan.
Menurut pendapat Ki Kartani bahwa,”Kepala daerah bawahan bukan lagi disebut Ki Gede tapi diganti dengan sebutan Ki Kuwu sesuai dengan peningkatan status administratif  Pakuwuhan. Situasi demikian terus berlanjut dan semakin marak lagi pada jaman pemerintahan Panembahan Ratu Awal.”
Ki Gedheng Alang-alang menjadi kuwu pertama dari Pakuwan Caruban Larang. Sedangkan yang bertindak sebagai wakilnya adalah Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana bergelar Ki Cakrabumi karena menjabat sebagai Pangraksabumi atau wakil kuwu yang diberi tugas khusus mengurusi masalah pertanian atau pengairan.
Setelah Ki Gedheng Alang-alang sebagai Kuwu Cerbon pertama wafat (1447 M), penduduk Cerbon pada waktu itu secara aklamasi mendaulat Pangeran Cakrabuana untuk menggantikan mertuanya. Prasasti Hulu Dayeuh, yang ada di daerah Cikalahang, Kecamatan Bobos, Cirebon juga tidak memberitahu adanya pelantikan Pangeran Cakrabuana sebagai kuwu Cirebon kedua. Prasasti Huludayeuh hanya memberitakan bahwa daerah Cikalahang merupakan desa Perdikan (bebas upeti) atau dimerdekakan dari membayar pajak. Berita yang disampaikan oleh prasasti yang ditulis dalam bahasa Sunda kuno dengan aksara Jawa (Carakan) itu menyebutkan bahwa Sri Maharaja Ratu Haji di Pokwan, sang Ratu Dewata menyatakan Cikalahang sebagai daerah Perdikan (Hardjosaputro ; 2011:32).
Untuk daerah-daerah yang sudah berkembang menjadi pemukiman Pangeran Cakrabuana juga mengangkat salah satu diantara mereka untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Status pemimpinnya ditentukan oleh jumlah cacah yang berkembang pada saat itu. Jumlah cacah yang terkecil dalam suatu susunan masyarakat Cirebon pada saat itu adalah somah yaitu satu kepala keluarga. Kemudian setelah berkembang menjadi beberapa somah dipimpin oleh seorang Ki Buyut yang menjadi kepala dari Kabuyutan.  Dalam satu kibuyutan atau kabuyutan setelah berkembang menjadi jumlah cacah yang cukup banyak ditambah dengan jumlah pendatang yang masuk dan bermukim di wilayah tersebut. Kemudian diangkatlah seorang Gegedhen yang menjadi pemimpin di wilayah pedusunan tersebut
Seorang gegedhen atau ki gedhe atau ki gedheng dapat saja ditentukan menjadi kepala Pakuwan (Kepala Desa) tetapi bisa juga dipilih lewat voting oleh rakyatnya menjadi seorang kuwu. Semuanya tergantung kesepakatan. Berbeda dengan struktur pemerintahan pada masa kerajaan Hindu Budha, dimana pemimpin suatu daerah biasanya merupakan keturunan dari kerajaan tersebut.
Pada tahun 1449 M, Ki Ageng Tapa wafat, Pangeran Cakrabuana tidak melanjutkan kedudukan kakeknya menjadi Raja Singhapura tetapi mewarisi semua harta peninggalan kakeknya. Kemudian Pangeran Cakrabuana dengan modal yang dimilikinya membangun Keraton Pakungwati, membangun bala tentara dan seluruh kebutuhan lainnya yang terkait dengan sarana dan prasarana untuk mendirikan sebuah nagari (negara). Pajajaran menyambut baik berita perekembangan di wilayah pesisir Cirebon. Kemudian diutuslah Tumenggung Jagabaya beserta empat puluh orang pengawalnya untuk membawa tandha keprabonyang isinya menyatakan bahwa Cirebon statusnya diangkat dari sebuah Pakuwan menjadi Ketumenggungan. Pangeran Cakrabuana sendiri diangkat menjadi tumenggung Carbon bergelar Tumenggung Sri Mangana. “Raja Sunda manungsung suka riniking krama, matangnya Pangeran Cakrabuana, kinanaken ka twangga dumadi tumenggung Carbon, sang prabhu motus tumenggung jagabaya lawan kawula bulanira, nikang duta sang prabhu amawa patanda kaprabon lawan anarikmana kacakrawartyan mandala, Pangeran Cakrabuana Sinungan Pasenggahan Sri Mangana.
Menurut Ki Kartani tandha keprabon yang diberikan maharaja Sunda dalam pelantikan yang diwakili oleh Tumenggung Jagabaya tersebut terdiri dari:
-         Mandhe jajar atau bale pajajran
-         Keris.
-         Lampit (tikar yang terbuat dari anyaman pandan atau rotan)
-         Kandaga (kotak tempat menyimpan arsip)
-         Songsong (payung kebesaran)
Upacara penyematan tandhakeprabon atau geglantandhakeprabon yang dilakukan kepada Pangeran Cakrabuana sebagai Tumenggung Carbon. Kemudian dijadikan tradisi untuk melantik para Kuwu yang menjadi bawahan Tumenggung Carbon. Kuwu-kuwu yang dilantik oleh Pangeran Cakrabuana diharuskan membangun bale mangu (bangunan untuk menyambut para pembesar Carbon berbentuk lunjuk), bale raman (bangunan untuk melakukan upacara selamatan atau menerima sesepuh desa), bale desa (bangunan untuk menjalankan pemerintahan desa), dan bale lebu (bangunan untuk mengurusi urusan-urusan khusus).
Selain memiliki ruang pelayanan publik yang sudah dirancang sedemikian rupa. Dalam sistem pemerintahan desa atau pakuwon juga diatur struktur pemerintahan desa sebagai berikut:
1.      KiBuyut (penasehat kuwu/penanggung jawab spiritual)
2.     KiKuwu (kepala pakuwon/pemerintahan desa)
3.     KiKliwon (wakil Ki Kuwu)
4.     KiCarik /Jertulis (penanggung jawab administrasi)
5.     KiRaksabumi (selaku penanggung jawab olah bumi yang menyangkut bidang pertanian dan pengairan)
6.    KiJuraganPulisi/MandorPulisi atau LeluguDesa (penanggung jawab bidang ketertidan dan keamanan)
7.     KiMayor (selaku pembantu Reksabumi)
8.     KiBahu (selaku pembantu umum)
9.     KiCapgawe (pembantu KiJuraganPulisi)
10. KiBekel (selaku penanggung jawab blok)
11.   KiLebe (selaku penanggung jawab bidang agama, menyangkut sarana peribadatan, perkawinan, perceraian, talak, rujuk, kelahiran dan kematian)
12.  KiKemit (penjaga atau pesuruh desa) (Kartani, 1997:3)
2.     Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Cirebon Pada Sebelum Islam
Dalam naskah Negara Kretabhumi sargah I parwa I disebutkan bahwa, “Sejak tahun 80 saka hingga 230 saka, sangatlah banyak kelompok pendatang yang menumpang berbagai perahu dari negeri Bharata dan Bhenggali yang bermukim di Nusantara. Di antara mereka yang berasal dari negeri Bharata terdapat ResiWaisnawa, mereka mengajarkan agamanya kepada penghulu masyarakat, tempat mereka bermukim, khususnya di Jawa Barat. Sedangkan ResiSyaiwa banyak yang bermukim di Jawa Timur.” Di antara penganut agama Hindu sekte pemuja BataraWisnu tersebut adalah Resi Sentanu Murti yang bermukim di Desa Krandon kecamatan Talun. Wilayah Kecamatan Talun adalah daerah yang dialiri tiga hulu sungai, yaitu sungai Grampak yang mengalirdari desa Sarwadadi menuju ke desa Sampiran, kemudian sungai Suba yang mengalir dari desa Patapan menuju Sampiran serta yang terakhir adalah sungai Cirebon Girang yang mengalir dari desa Cirebon Girang juga menuju ke Sampiran. Di Desa Sampiran itulah ketiga hulu sungai tersebut bertemu menjadi satu, yang diberi nama oleh Resi Sentanu dengan nama Gangganadi.
Kerajaan Singhapura mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Ki Jumajan Jati atau dikenal dengan Ki Ageng Tapa. Pada tahun 1401, berdasarkan catatan sejarah yang ditulis oleh P. Arya Carbon Raja Giyanti(P.Roliya Martakusuma), pelabuhan Muara Jati mendapat kunjungan armada besar dari China yang dipimpin oleh Cheng Hwa.


a.     Kondisi Sosial Ekonomi Cirebon Pada Masa Penyebaran Islam (Masa Mbah Kuwu Cirebon atau Pangeran Cakrabuana atau Tumenggung Srimangana)
Setelah Ki Ageng Tapa wafat, Pangeran Cakrabuana tidak mau melanjutkan menjadi raja Singhapura menggantikan kakeknya, namun beliau membawa seluruh harta warisannya untuk membangun keraton Pakungwati. Pangeran Cakrabuana juga tetap melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah dirintis kakeknya ketika menjadi raja Singhapura. Salah satu kebijakan yang tetap dipertahankan adalah kebijakan ekonomi yang memprioritaskan Cirebon sebagai nagari perdagangan.Potensi pelabuhan Muara Jati tetap dijadikan gerbang utama untuk keluar masuknya komoditi perdagangan. Beras tuton, garam, terasi, tetap menjadi produk unggulan yang diprioritaskan.Bahkan untuk garam dan terasi udang Cirebon sangat terkenal di wilayah kerajaan Galuh dan Sunda Pajajaran.Garam dan terasi juga merupakan komoditi yang menjadi syarat ikatan antara kerajaan Cirebon dengan kerajaan pelindungnya Pajajaran. Setiap tahun, Pangeran Cakrabuana selalu mengirimkan upeti berupa garam dan terasi (angaturaken uyah lan trasi, mring Maharaja Sakti Pajajaran Pakuan Nagari).
3.     Kehidupan Agama Masyarakat Cirebon Sebelum Datangnya Islam
Dalam naskah Babad Mertasingha yang di edisi Amman N. Wahyu, diceritakan tentang awal pertemuan antara Syeikh Syarief Hidayatullah dengan Adipati Keling yang sedang mengawal larungan jenazah rajanya di tengah laut. Dalam lakon wayang kulit Purwa Cirebon juga dikenal dengan sebuah cerita galur yang disebut lakon SumbadraLarung. Dalam lakon tersebut, Sumbadra yang telah dibunuh oleh Burisrawa dilarung ke sungai menuju laut yang dikawal oleh Gatotkaca. Dalam ritual kehidupan masyarakat nelayan di Cirebon, juga sampai sekarang masih hidup upacara lelumban atau pesta laut. Puncak dari upacara tersebut adalah melarungsajen menuju tengah laut.
Upacara larungan merupakan salah satu rangkaian dari siklus ritual yang dilakukan oleh masyarakat pemeluk agama Hindu sekte Waisnawa yang sudah mengalami proses metamorfosa dengan Islam. Sampai sekarang, dalam lakon galur SumbadraLarung, proses untuk menghantarkan jenazah sang putri untuk menjumpai Hyang Widhi tetap dilakonkan seperti apa adanya. Walaupun dipentaskan di tengah-tengah masyarakat Cirebon yang sudah mayoritas Islam.
Beberapa tradisi mewarnai masyarakat Cirebon pra Silam diantaranya ritual memitu merupakan rangkaian dari sembilan atau sepuluh ritual persiapan menyambut kelahiran bayi. Naskahsedekahwulan atau CandraningWongBobotmilik R. Syarief Rohani Kusumawijaya.
Ketika Ki Pengalang-alang meninggal, Pangeran Walangsungsang Cakrabuana mengkuburkan jenazah, baru pusaranya disiram dengan air bunga, dan membakar dupa. Setelah itu baru dibacakan talkin, tahlil dan do’a.
Sebetulnya sinkretisme yang terjalin antara agama Hindu dan Budha sudah terjalin sejak lama. Yaitu sejak awal masuknya agama Hindu dan Budha ke Nusantara. Pembauran antara pendatang yang berasal dari luar wilayah utara Nusantara ini beradaptasi dengan masyarakat Nusantara yang sudah memiliki bahasa, adat istiadat dan sistem kepercayaan sendiri. Seperti yang diberitakan dalam Kropak 408 dan Kropak 630 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian), “Campuran Siwaisme dan Budhisme ini masih dijalin dengan agama pribumi. Karena ternyata unsur Hyang tetap dibedakan dengan dewata. Walaupun tempat tinggal para  dewata juga disebut kahyangan.”


4.     Hubungan Cirebon Dengan Dunia Luar
Cirebon saat itu merupakan bagian dari Kerajaan Galuh  menganut agama Budha. Hingga kemudian mulai masuklah pendakwah Islam di Jawa Barat, Caruban salah satunya. Saat itu Cirebon merupakan salah satu jalan lalu-lintas internasional. Banyak masyarakat dari mancanegara yang telah singgah di nusantara, jauh sebelum Cirebon berdiri. Begitu pula dengan kerjasama diplomatik yang telah lama berlangsung dengan negara-negara di luar nusantara. Kerjasama tersebut telah terjalin demikian harmonis. Salah satu kerjasama yang telah terjalin sejak ribuan tahun silam adalah kerjasama dengan Negara Cina. Hal tersebut tertuang dalam Naskah Pustaka Negarakretabhumi.

B.  ISLAM MASUK CIREBON
Islam masuknya Islam ke Cirebon tidak lepas dari masuknya Islam ke Nusantara. Masuknya Islam ke Nusantara baik melalui pedagang Arab, Persia, Cina, India, baik lewat migrasi secara individual maupun besar-besaran. Telah diketahui bahwa pada abad ke-7 M, para pedagang Arab telah melakukan hubungan dagang dengan Nusantara. Bahkan beberapa keluarga yang  berasal dari keluarga Lorestan, Persia pada abad ke-10 datang mendirikan kampung di Leran, Jawa Timur. Keluarga Sunan Khot Jawi, yang merupakan keluarga kerajaan beraliran Syiah,  serta keluarga Rukhnud Daulah Bin Hasan menetap di Siak, Sumatera Timur. Pada abad itu juga Keluarga Jawani di Iran memilih tinggal di Pasai, dan pada abad ke-11, penasehat Ratu Jayabaya, Fatimah binti Maimun merupakan generasi awal para penyebar Agama Islam di Jawa. 
Proses penyebaran agama Islam di Nusantara oleh para pemuka agama saat itu, tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam dunia. Beberapa daerah di luar Nusantara seperti Persia, Bagdad, Mesir dan Cina memiliki peranan yang besar dalam penyebaran Islam di tanah Jawa.
Pengaruh Islam di Nusantara masuk melalui jalur perdagangan yang sudah ada sejak abad ke-9, terbukti dengan adanya seorang ahli bumi Arab bernama Abu al Faida yang menyebutkan kepulauan Nusantara.  Selain itu sumber dari Cina menyebutkan bahwa di pantai barat Sumatra dikepalai oleh pemimpin Arab dan terdapatnya beberapa keluarga Arab yang tinggal di Kalingga, Jawa.
Migrasi orang Islam berkebangsaan Arab, Persia dan Turki secara besar-besaran ke Cina  terjadi pada awal abad ke-13, pada masa Dinasti Yuan. Pertengakhan abad ke 13, di Cina kekuasaan Dinasti Khubilaikhan berakhir  berganti Dinasti Ming. Namun generasi penerus dari Zenghiskhan dan Khubilaikan menjadi pemeluk Islam yang mencintai Islam. Sehingga Khaisar Yung lo saat itu menaruh perhahatian besar pada Islam, diperlihatkan dengan kebijakan politiknya mengirim  Laksamana Cheng Ho melakukan perjalanan Muhibah.Mereka menikah dengan penduduk Cina, bahkan menduduki posisi posisi penting pada masa kekaisaran tersebut, mendorong perkembangan dakwah Islam di sana, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perjalanan muhibah Laksamana Cheng Ho pada tahun 1405-1437. Perjalanan tersebut ke Nusantara pada akhirnya turut mempengaruhi budaya lokal, ditandai dengan menempelnya keramik-keramik Cina dari Dinasti Ming pada beberapa masjid di Jawa serta menyebabkan adanya migrasi orang-orang Cina ke Nusantara. Sehingga di daerah Tuban pada era tersebut, Gresik dan Surabaya tersapat 1000 keluarga Cina Muslim.
Perkembangan di Campa juga mempengaruhi perkembangan Islam di Nusantara. Pada Abad tahun 1446-1471 ketika penaklukan ibukota Champa oleh raja Vietnam, bernama Le Nanh-ton  dan Tanh-ton, mendorong terjadinya pengungsian penduduk Champa ke Nusantara.
Menurut Sunyoto[2] Islam yang berkembang di India, yang dibawa oleh golongan Alawiyin yang lari dari kejaran penguasa Dinasti Umayah dan Abasiyah. Pengaruh tradisi dan pemikiran Alawiyin yang dianut orang Persia, terbawa ke India. Pada saat pedagang India muslim berdagang di Nusantara, pengaruh India-Persia tersebut turut terbawa dan tersebar.
Perkembangan sejarah di Timur Tengah juga turut mempengaruhi penyebaran agama Islam. Penaklukan oleh Zenghiskhan (Temujin) mulai tahun 1211 di Cina, pada tahun 1218 M di Transosiana, Timur Tengah, mempunyai andil dalam penurunan kejayaan Islam (baca = keruntuhan Bagdad).  Hingga penaklukan keturunan Zenghiskhan, yaitu Ghulahu atau lebih dikenal dengan nama Khubilaikhan pada tahun 1256 di Persia dan pembumihangsan Bagdad pada tahun 1258, membuat Islam saat itu berada di zaman kegelapan. Baru setelah Berke, keturunan Ghulahu dan Muhammad Ghazan, seorang pendeta Budhist,  pada tahun 1295 menjadi raja Persia, Islam mulai bangkit kembali. Sehingga pada saat itu di Jawa pun terdapat kekosongan waktu dari abad ke-10 hingga abad ke-13, tidak terdapat perkembangan Islam yang berarti di Nusantara. Di Nusantara pun tidak ada bukti bahwa Islam pernah dianut secara luas di pulau Jawa. Bahkan dalam Historiografi Jawa, keteka Sultan Al-Gabah dari negeri Rum, Persia mengirimkan 20.000 keluarga muslim ke Pulau Jawa, mereka terbunuh dan hanya 200 keluarga yang selamat. Sehingga akhirnya Sultan Al Gabah mengirimkan Syekg Subakir, wali keramat dari Persia untuk berdakwah di pulau Jawa.
Di Mesir pada tahun 1260, terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti Abasiyah kepada para Mamluk. Mamluk awalnya adalah perserikatan para budak yang mengambil alih kekuasaan dengan cara menikahi sultanah saat itu. Saat pergantian tersebut berbarengan penaklukan Zenghiskhan di Bagdad. Kekuasaan Mamluk yang kuat tidak dapat ditembus oleh kekuatan militer Zenghiskhan saat itu.
Pada Abad ke-13 Kesultanan Turki dan Khalifah Umayah memegang peranan utama dalam perkembangan sosial ekonomi, budaya, pendidikan politik dunia.

1.       Jalur, tokoh dan Proses Masuknya Islam
            Diceritakan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, dalam Sejarah Banten, juga dalam Naskah Mertasinga, bahwa Syekh Nurjati/Syekh Idofi Mahdi/ Syekh Datuk Kahfi[3], mendarat di Muara Jati  setelah pendaratan Syekh Quro .Rombongan diterima oleh Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati. Syekh Nurjati bersama rombongan dari Bagdad sebanyak sepuluh orang pria dan dua orang perempuan tiba di Muara Jati. Syekh Nurjati mendapatkan ijin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan(3), Gunung Jati.
Syekh Nurjati untuk membangun sebuah pondok pesantren yang bernama Pesambangan Jati.  Setelah kedatangan Syekh Nurjati ke Pesambangan, menyusul anak-anak mereka yang bernama Syarif Abdurrahman dan adik-adiknya, Syarif Abdurrakhim, Syarifah Bagdad dan Syarif Khafid datang menyusul dari Bagdad.
Selain Syekh Nurjati terdapat pula Syekh Maulana Magribiserta adik Pangeran Maulana Magribi yang bernama Pangeran Makdum. Keduanya popular karena memiliki suara emas ketika melantunkan ayat suci Al Quran. Pangeran Makdum tinggal di sebelah selatan keraton Pakungwati, diseberang selatan sungai, sekarang desa tersebut bernama desa Makdum. Kegiatan utama adalah melaksanakan tilawah mengaji al Qur’an dan tadarus Al Qur’an.  Namun Pangeran Makdum Ibrahim gagal menjadi wali di Jawa.
Berdasarkan keterangan tersebut diatas terdapat beberapa jalur masuknya Islam di Cirebon diantaranya : Jalur Persia, Jalur Cina, Jalur Arab (Mekah, Mesir, Bagdad),   Jalur India, yang kesemuanya melakukan perjalanannya melalui laut dan sebagian dari mereka juda ada yang melakukan aktivitasnya melalui perdagangan.

2.     Munculnya Nama Cirebon
Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang disunting oleh Atja disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “Sarumban”, lalu mengalami proses perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan pengucapan menjadi “Carbon”, berubah lagi menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”.
Masyarakat setempat menyebutnyaGrage” (asal kata dari “Garage” yang artinya  “Negara Gede). Menurut P. S. Sulendraningrat, sebagai penanggung jawab sejarah Cirebon dari kalangan keraton, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Ki Cakrabumi (Pangeran Cakrabuana). Proses pergantian nama dari Caruban sampai Grage, berjalan terus hingga sekarang menjadi “Cirebon” yang berasal dari kata “ci” artinya air dan “rebon” artinya udang kecil sebagai bahan pembuat terasi[4].

B.    TERBENTUKNYA MASYARAKAT ISLAM DI CIREBON
1.       Terbentuknya Masyarakat Islam di Pesambangan
Tidak diketahui dengan jelas apakah Ki Gedeng Tapa seorang mualaf atau tidak. Tetapi berdasarkan naskah, Ki Gedeng Tapa sangat menghormati para pendatang yang beragama Islam. Ia memiliki toleransi yang tinggi terhadap orang-orang yang memilki keyakinan berbeda, sehingga pelabuhan Muara Jati dapat berkembang menjadi pelabuhan yang maju dan ramai.  Pesambangan menjadi ramai sebagai berlangsung kehidupan ekonomi yang menggeliat di Pelabuhan Muara Jati sebagai tempat ekonomi, yang memberi penghidupan dan tempat berlangsungnya kehidupan beragama dengan dasar tauhid dengan ketaatan menjalankan ibadahnya.
Ketika Pangeran Walangungsang berhasil membuka Tegal Alang-Alang yang kemudian tumbuh menjadi pedukuhan yang ramai, hingga akhirnya Pangeran Cakrabuana diangkat menjadi Kuwu Carbon, proses masyarakat Islam pun terbentuk disana. Para penduduk di wilayah Tegal Alang-Alang (Lemah Wungkuk) bekerja bersama-sama atau bersendirian di bawah suatu komando  Pangeran Walangsungsang Cakrabuana. Mereka sumbangkan tenaga dan pengalaman peribadi untuk membina masyarakat yang satu harmonis berdasarkan persamaan hak, dipadukan oleh tali Allah dan sisi  kemanusiaan.

2.     Demografis
Pada tahun 1369 Saka atau 1447 Masehi, jumlah seluruh penduduk yang tinggal di Caruban adalah 346 orang. Laki-laki sebanyak 122 orang dan perempuan sebanyak 164 orang.  Dengan rincian sebanyak 196 orang Sunda, 106 orang Jawa, 16 orang Swarnabhumi (Sumatera), 4 orang Hujung Mendini (Semenanjung Malaka), 2 orang India, 2 orang Parsi, 3 orang Syam (Syiria), 11 orang Arab, dan 6 orang Cina. Mereka patuh kepada peraturan di Caruban pada waktu itu.[5]

3.     Ekonomis
Cirebon menjadi daerah ekonomis seiring perkembangan pedukuhan yang dibuka. Kemudian mereka membuat lahan pertanian di daerah Panjunan, membuat industri produk laut diantaranya terasi, petis, ikan kering dan garam. Adanya proses industri yang berlangsung di Cirebon dapat di identifikasi dari adanya batu yang diyakini sebagai peralatan membuat terasi di depan Keraton Kanoman yang terletak di Kelurahan Lemah Wungkuk.

D.    MENATA INSTITUSI POLITIK
1.      Masjid
Perintisan berdirinya Caruban Nagari dilakukan oleh Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dengan gelar raja muda. Pangeran Walangsungsang Cakrabuana merintis Caruban Nagari dari jenjang yang paling bawah sampai menjadi raja muda. Perintisannya diantaranya membuat pemukiman di Tegal Alang Alang  (sekarang Lemah Wungkuk) hingga akhirnya disebut Caruban yang artinya campuran. Ketika Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Endang geulis membuka pedukuhan, mereka mendirikan sebuah masjid di tepi laut  yang diberi nama Masjid Pejelagrahan (asal kata dari jala-graha yang artinya rumah di atas laut).


2.     Istana
            Sepeninggal Ki Gedeng Tapa , Pangeran Walangsungsang mendirikan masjid dan Keraton Pakungwati dengan pembiayaan dari warisan kakeknya Ki Ageng Tapa. Istana Pakung wati sekarang terletak di bagian dalam Keraton Kasepuhan.

3.     Tentara
Pasukan keamanan lengkap dengan angkatan bersenjatanya dipersiapakan oleh Pangeran Walngsungsang Cakrabuana untuk mengantisipasi serangan dari kerajaan Galuh. 


SUKSESI KEPEMIMPINAN DARI SRI MANGANA
KE SUSUHUNAN JATI

Walisongo (yang lebih dikenal Nawa Kamastu pada saat masa Hindu Budha), terutama Sunan Gunung Jati merupakan sebuah produk sukses dari suatu grand design, yang telah dirintis para wali sebelumnya dalam rangka penyebaran dakwah Islam hingga akhirnya dapat meng-Islamkan tanah Jawa secara masal dan beberapa daerah lain di luar pulau Jawa.
1.       Latar Belakang
Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang saat bertemu Syekh Quro, Syekh Maulana Magribi dan  Syekh Datul Kahfi  meramalkan adiknya akan berjodoh dengan raja Mesir dan akan dianugerahi anak yang bernama Maulana Jati, yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa Cirebon. Seperti yang tertera dalam Naskah Carub Kanda Carang Seket.
Pada kesempatan yang berbeda Nyi Mas Ratu Rarasantang dan Pangeran Walangsungsang setelah membuka Tegal Alang-alang, mereka diperintahkan untuk menunaikan Rukun Islam kelima.  Setelah berhaji Nyi Mas Ratu Rarasantang bernama Hajjah Syarifah Mudaim[6], sedangkan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana menjadi Haji Abdullah Iman.
Pada saat itulah Nyi Mas Ratu Rarasantang bertemu dengan  Maulana Sultan Mahmud/ Syarif Abdullah/ Sultan Amiril Mukminin/ Sultan Khut, Anak Nurul Alim dari bangsa Hasyim (Bani Ismail), yang memerintah kota Ismailiyah, Palestina.  Maulana Sultan Mahmud, salah seorang penguasa di Mesir[7], yang baru saja ditinggal mati oleh istrinya bermaksud menikahi Nyi Mas Ratu Rarasantang. Syarif Abdullah pergi ke arah timur dari istananya dengan mengajak Nyi Mas Ratu Rarasantang ke bukit Tursinah dengan diikuti Pangeran Cakrabuana dan patih Jalalluddin. Disana ia melamar Nyi Mas Rarasantang. Perjanjian pra nikah antara keduanya di Bukit Tursina[8] terdapat dalalam Pupuh Kasmaran Naskah Mertasinga, Carang Seket, Serat Kawedar dan Sejarah Lampah ing para Wali Kabeh. Isi dari perjanjian tersebut adalah bahwa Nyi Mas Ratu Rarasantang bersedia dinikahi oleh  Syarif Abdullah dengan syarat bahwa bila ia melahirkan anak laki-laki, anak tersebut diperbolehkan untuk menjadi pemimpin agama di Jawa untuk mengIslamkan saudara-saudaranya di Padjajaran.[9] Perjanjian tersebut dihadiri oleh Pangeran Walangsungsang Cakrabuana selaku wali dari Nyi Mas Rarasantang. Syarif Abdullah menyepakati perjanjian tersebut. 
Pangeran Walangsungsang Cakrabuana pun menyetujui perjanjian tersebut. Karena hal tersebut pun telah diramalkan pada saat pertemuan mereka dengan Syekh Quro,  Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi. Yang secara tidak langsung ramalan tersebut merupakan nasehat dan sekaligus merupakan amanat dari para pemuka agama di sana saat itu.
Akhirnya Nyi Mas Ratu Rarasantang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud. Menikahnya Syarifah Mudaim dan Syarif Abdullah bukan merupakan kebetulan belaka. Semua merupakan skenario besar dalam rangka mengkader (kaderisasi) calon keturunan orang-orang yang akan mengIslamkan tanah Jawa. Syarif  Abdullah adalah adik ipar dari Syekh Datul Kahfi.  Antara Syekh Datul Kahfi, Syekh Quro, Syekh Pernikahan Nyi Mas Ratu Rarasantang merupakan sebuah skenario besar untuk melakukan Islamisasi masal melalui keturunan mereka di kemudian hari. Dengan cara mensugesti Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Ratu Rarasantang, sehingga mereka mau mengikuti petunjuk para guru mereka. Para pendakwah senior tersebut telah mengkaji dan mengambil pelajaran dari pengamalan mereka sebelumnya, dimana perkawinan antar mualaf Nyi Mas Subang Karancang, ibunda Nyi Mas Ratu Rarasantang yang berguru pada Syekh Quro,  dengan Pemanah Rasa, calon Raja Sunda, gagal, tidak berhasil mengIslamkan tanah Sunda, sehingga mereka membuat strategi dakwah baru dengan cara kaderisasi potensi calon-calon pendakwah baru. Salah satu caranya adalah mengawinkan anak-anak perempuan keturunan raja-raja Jawa dengan keturunan raja-raja di Timur Tengah, yang keturunan Rasulullah, sehingga keturunannya yang akan menyebarkan agama Islam kelak memiliki legitimasi, karena mereka memiliki hak waris dari ibu mereka.
Pada tahun 1448 M, Syarifah Mudaim  yang dalam keadaan hamil tua menunaikan ibadah haji kembali. Di Kota Mekah ia melahirkan Syarif Hidayatullah di Kota Mekah. Dua tahun kemudian lahirlah Syarif Nurullah, adik Syarif Hidayat.
Syarif Hidayat, keponakan Pangeran Cakrabuana dibesarkan di negara ayahnya, Mesir. Syarif Hidayat tumbuh menjadi  pemuda yang cerdas.  Syarif Hidayat sangat taat menjalankan syariat Islam. Ia seorang muslim yang takwa. Syarif Hidayat gemar mempelajari ajaran Agama Islam. Ia bercita-cita mengajarkan dan menyebarkan agama Islam. Pada usia 15 tahun, ia membaca dan mempelajari sebuah kitab (Muhammadiyyah).
Sehingga ketika berusia dua puluh tahun, pergi ke Mekah, berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri/ Najmuddin. Naskah Kuningan (Lampiran IV) menjelaskan tentang Syarif Hidayat yang berguru kepada Syekh Tajuddin. Kepada Syekh Tajuddin, Syarif Hidayat belajar adab para guru, dzikir, silsilah, shugul, Tarekat Isqiyah, dan adab Syatori[10]. Ia juga belajar tentang ilmu syariat, ilmu tarekat, ilmu hakekat dan ilmu makrifat. Pada saat berguru pada Syekh Tajuddin, Syarif Hidayat diberi nama Madkurullah.
Setelah dua tahun lamannya, Syarif Hidayat kemudian menuntut ilmu tawasul rasul pada Syekh Athaullah Sadili, yang bermahzab Syafi’i  di Bagdad. Darinya Syarif Hidayat juga belajar istilah Sirr (Sirrullah), Tarekat Syaziliyah, Tarekat Syatariyah, Isyki Naqisbandiyah, dzikir jiarah, bermeditasi,  riyadhah (latihan tarekat/sufi) di tempat-tempat suci.  Oleh Syekh Athaullah, Syarif idayat diberi nama Arematullah.
Setelah itu ia kembali ke negara ayahnya, dan diminta untuk menggantikan posisi ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi ia memilih untuk pergi ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Islam bersama pamannya, Pangeran Walangsungsang Cakrabuana.  Posisi Raja Mesir diserahkan dari Patih Ongkhajuntra, paman Syarif Hidayat kepada oleh adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayat memiliki banyak nama yaitu Sayyid Kamil dan  Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Sultanil Mahmud al Kibti[11].  Kemudian Sayid Kamil pergi ke pulau Jawa, di perjalanananya  ia singgah di Gujarat, tingal disitu selama tiga bulan, selanjutnya ia tingal di Paseh (Pasei). Di Paseh, Syarif Hidayat tinggal di pondok saudaranya selama dua tahun, yaitu Sayid Ishaq [12], bapak Raden Paku/ Sunan Giri, yang menjadi guru agama Islam di Paseh di Sumatra.   Saat di Pasai ia berguru Syekh Sidiq  jati wisik (ajaran sejati), ba’iyat serta muhal maha, talkin dalam dzikir sirr, tarekat Muhammadiyah, Anapsiah, dan Jaujiyah Makomat Pitu[13], serta melakukan kanaat dan uzlah.
Kemudian Syarif Hidayat pergi ke ke pulau Jawa, singgah di negeri Banten. Disini banyak penduduk telah memeluk agama Rasul, karena Sayyid Rahmat (Ngampel Gading) telah menyebarkan Agama Islam di sini, yang di gelari Susuhunan Ampel, juga salah seorang saudaraanya.
Maka berangkatlah Syarif Hidayat  pergi ke Ngampel dengan naik perahu milik orang Jawa Timur. Perjalanan Syarif Hidatyat berguru pada beberapa orang tertulis dalam Kitab Negara Kertabhumi .
Setelah menuntut ilmu, di Ampel diadakan pertemuan para wali dan Sayid Kamil menerima tugas di negeri Carbon, yaitu di Gunung Sembung, karena disana tempat tinggal uwanya, yaitu Haji Abdullah Iman yang menjadi Kuwu Carbon kedua.
Di Cirebon Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, telah mempersiapkan suksesi kepemimpinan jauh hari sebelum kedatangan Syarif Hidayat. Suksesi kepemimpinan tersebut disimbolkan dengan sebuah kotak berisi pedang dan surat. Dimana dalam kebiasaan orang barat dan timur, serah terima tampuk kepemimpinan ditandai dengan penyerahan pusaka, yang dalam hal ini berupa golok cabang dan sebuah surat mandat.
Syekh Maulana berhasil mengalahkan pesaingnya yaitu Pangeran Panjunan dan Pangeran Carbon. Selain karena kalah ilmu, kalah pengalaman, Pangeran Panjunan tidak memiliki hak waris dari garis ibu. Sedangkan Pangeran Carbon, selain kalah ilmu dan pengalaman, ia tidak memiliki hak waris dari jalur Rasulullah.
Syekh Maulana kemudian diangkat  menjadi raja. Ia  mengudang kepada  Sunan Kalijaga, Pangeran Drajat, Pangeran Makdum, Pangeran Luwung, Pangeran Sendang, Pangeran Tayuman, Pangeran Reken di Losari, Pangeran Pasalaka, Pangeran Magrib, Pangeran Gagak Lumayu, Pangeran Satang Lumari, Pangeran Kajaksan, Pangeran Plangon, Pangeran Karang Kendal, Pangeran Bramacari, Pangeran Welang, Pangeran Supekik, Pangeran Carbon Girang, Pangeran Wanacala, Pangeran Sucimana, dan Pangeran Kedung Soka.
Para pembesar berkumpul untuk melaksanakan penobatan Syekh Maulana menjadi Susuhunan di Pakungwati, disaksikan oleh ibundanya Nyi Mudaim serta Uwanya sunan Rangga/ Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, dan kakandanya Pangeran Jakerta, Raja Cempa. Pangeran Panjunan dan pengikutnya mendukung dengan cara membangun pagar-pagarnya, membuat pintu-pintu kerajaan, merancang pedaleman serta menyiapkan tukang batunya. Turut datang Raden Sepat dari Majapahit, yang mempunyai hubungan keluarga dengan Pangeran Panjunan. Ki Gedeng Kagok Garenjeng, Pangeran Reken turut membantu Susuhunan.
Syekh Maulana diangkat oleh uwaknya pada tahun 1479 M dengan gelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Aulia Allah Kutubizaman Kholifatur Rosulullah Shallollahu Alaihi Wassalam[14] dengan didukung oleh semua pembesar di pesisir Sunda.  Sementara itu Wali Sembilan yang hadir  menyambut gembira penobatan Susuhunan Jati.



2. Reaksi Pangeran Carbon
            Pangeran Carbon merupakan anak dari Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dengan Ratna Risis. Pangeran Carbon setelah dewasa dinikah dengan Nyi Cupluk, putri Ki Gedeng Trusmi. Dari pernikahan mereka berputra anak sulung laki-laki, yaitu Pangeran Trusmi/ Pangeran Mangana Jati. Isterinya yang kedua yaitu  Nyi Mas Kencana Sari, puteri Pangeran Panjunan dengan Nay Matang Sari. Dari pernikahannya, pangeran Carbon dengan Nay Mas Kencana Sari berputera laki-laki, Ki Gedeng Carbon Girang namanya.
Pangeran Carbon sangat menghormati ayahnya, sehingga ia tidak berkeberatan jika Syekh Jati yang menggantikan posisi ayahnya menjadi penguasa Carbon.
Namun karena berguru kepada Syekh Lemah Abang yang  beraliran Syiah Almuntazar dan berambisi menjadi Raja Tanah Jawa, pada saat Susuhunan Jati berkuasa selalu terjadi perselisihan antara bala tentara Carbon dengan para ki gede yang memusingkan Kanjeng Sinuhun. Sehingga ketika Raja Demak, Raden Patah mengirimkan surat melakui Sunan Kudus[15] untuk meminta bantuan mengatasi masalah Pengging (Syekh Siti Jenar/ Syekh Lemah Abang dan para pengikutnya), Susuhunan bersedia membantu, hingga berakhir pada ditangkapnya Syekh Siti Jenar dan di jatuhi hukuman mati, yang dilaksanakan oleh Sunan Kudus. Pelaksanaan eksekusi Syehk Siti Jenar sebenarnya bukan hanya masalah aliran dan mahzab, namun lebih kental nuansa politik.


KEBIJAKAN POLITIK PEMERITAHAN SUNAN GUNUNG JATI

I. Memerdekakan diri dari Kerajan Pajajaran
a. Deklarasi
Pangeran Walangsusang Cakrabuana. Ketika Syarif Hidayat diangkat tumenggung oleh uwanya, agama Islam sudah berakar luas sampai di Kuningan dan Luragung. Atas dasar itulah, Syarif Hidayat dengan dukungan para kamastu (wali) memutuskan bahwa Cirebon harus menjadi Negara pusat kekuatan agama islam yang merdeka pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra 1404 Saka (Maret/April 1482 Masehi). Momentum ini dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon, yaitu pada tanggal 2 April 1482 M[16].
            Ketika berita itu sampai di Pakuan, Sri Baduga mengutus Tumenggung Jagabaya bersama anak buahnya untuk “menertibkan” Cirebon dan mengatasi keadaan.Akan tetapi Jagabaya di sergap di dekat Gunung Sembung oleh pasuakan gabungan Cirebon-Demak. Pasukan Demak dibawa ke Cirebon oleh Raden Patah ketika ia menghadiri penobatan Susuhunan Jati. Ketika ia pulang, sebahagian pasukannya ditinggalkan di Cirebon untuk menjaga kemungkinan adanya serangan dari Pakuan. Jagabaya bersama pasukannya kemudian masuk Islam.
            Karena Jagabaya lama tidak kembali, Sri Baduga lalu mempersiapkan pasukan besar untuk menyerang Cirebon. Namun niat tersebut dapat di cegah oleh purohita (pendeta tertinggi keratin), Ki Purwagalih.mungkin kedudukan Syarif Hidayat sebagaicucu sang Maharaja dan ia pun di nobatkan oleh Pangeran Walangsungasang telah meredakan murkanya. Seorang kakek yang memerangi anak dan cucunya tentu akan di cemoohkan orang. Walaupun demikian tokoh setinggi purohita Ki Purwagalih ini dalam Babad Padajaran“ dijadiakan” panakawan Guru Gantangan dengan tingkah laku ala Karang Tumaritis.
II. Pendirian Masjid Negara
Pusat pemerintahan Cirebon berada di Keraton Pakungwati,  sehingga wajarlah apabila ingin memiliki masjid jami yang representatif sesuai bentuk kepemimpinan Sunan Gunung Jati. Sehingga tercetuslah ide pembuatan Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Pengerjananya dilakukan oleh sejumlah 500 orang dipimpin oleh Sunan Kalijaga dan Raden Sepat sebagai arsiteknya, yang sebagaimana juga pembangunan masjid Demak, di bawah pengawasan para wali yang diketuai oleh Sunan Kalijaga.[17] Masjid Agung Cirebon, yang sekarang terletak di sebelah barat alun-alun Kasepuhan, bernama Masjid Agung Sang Cipta Rasa, merupakan hasil kerja orang Demak dan Cirebon. Menurut inskripsi yang tertera di blandar sayap selatan masjid, nama masjid tersebut adalah Masjid Agung Pakungwati, sesuai dengan nama istananya yang bernama Dalem Agung Pakungwati, yang diambil dari nama putri Pangeran Walangsungsang Cakrabuana yaitu Nyi Mas Pakungwati.
Menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, ide dan peletakan batu pertamanya memakai Candra Sangkala, yang berbunyi: mungal mangil (1) mungup (1) jembling (4)  gateling asu (1), yaitu tahun 1411 Saka/ 1489 Masehi.[18] Adapun Masjid Agung Sang Cipta Rasa baru selesai dibangun pada tahun 1500 Masehi, dengan candra sengkala yang berbunyi waspada (2) panembahe (2), yuganing (4), ratu (1). Yaitu tahun 1422 Saka. Hal ini karena setelah melakukan peletakan batu pertama Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon, terlebih dahulu para wali mendirikan Masjid Agung Demak atas permintaan Sultan Demak, Raden Patah.[19]

IV. Gerakan Islamisasi
a.     Kesenian
-         Gembyung atau Brai
Ada yang berpendapat, bahwa istilah Brai berasal dari kata Arab “baroya” atau “birahi" yang berarti puncak kenikmatan hubungan antara manusia dengan Sang Maha Pencipta.Dalam ajaran Mahabbah, hubungan antara manusia dengan Tuhan bias di capai dengan beberapa tahapan, tegantung kemampuan manusia dalam membuka hijab atau batas yang menghalangi hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta. Birahi adalah puncak tahapan teringgi dari yang bias dicapai manusia dalam menggapai kecintaannya pada Allah SWT sehingga apabila sudah sampai pada maqom ini, manusia akan lupa pada yang selain Allah SWT sebab hatinya sudah di dominasi oleh lautan kenikmatan.
-         Topeng
Topeng adalah salah satu kesenian tradisional Indonesia yang telah tumbuh dan berkembang sejak abad ke-10 s.d 11 M. Pada saat Cirebon menjadi pusat pengembangan syiar agama islam, Sunan Gunung Jati bersama dengan Sunan Kali Jaga, mengangkat kesenian wayang dan tari topeng menjadi tontonan di Keraton yang juga berfungsi sebagai tuntunan dalam penyebaran agama Islam.
1.      Panji
Tarian panji ditampilkan pada urutan pertama.Wajah btopeng ini berwarna putih berseri, lambing kebersihan dan kesucian, bagaikan bayi yang baru dilahirkan, karakternya halus dan alim.
2.     Pamindo
Pamindo merupakan tarian kedua.Tarian ini menggambarkan tarian seseorang yang mulai memasuki masa remaja, yang cenderung berpikir emosional, dan penuh dengan semangat yang bergelora.Rias wajahnya putih berseri dihiasi rambut keriting (ikal) karakternya genit dan lincah.
3.     Rumyang
Rumyang berasal dari kata arum dan myang (harum dan semerbak), kata ‘rumyang’ merupakan ungkapan dari keadaan remaja yang semangatnya selalu optimis dan penuh percaya diri.Tarian ini menggambarkan seseorang yang mulai dewasa dan mengerti arti kehidupan.Rias wajahnya berwarna oranye sebagi lambing peralihan dari masa remaja ke masa dewasa.Karakternya agak genit bercampur alim.
4.     Tumenggung
Tumenggung berkarakter gagah dan tangguh.Rias wajahnya berwarna merah, berkumis tipis, menggambarkan seseorang yang punya kedudukan dan tanggung jawab yang tinggi sesuai kedewasaannya.
5.     Klana atau Rahwana
Kalana berwarna merah padam, berkumis tebal menyeramkan, dan melambangkan karakter gagah dan besar.Tarian ini menggambarkan tarian yang serakah, angkuh, murka, dan tidak dapat mengendalikan diri, sekaligus menggambarkan puncak fase kehidupan manusia yang selalu berkelana dalam kebebasan dari pengaruh hawa nafsu.Gerak tersebut melambangkan mampu menertawakan kepandiran diri sendiri.





b.    Pengadilan Islam
Masjid merupakan pusat segala aktivitas kenegaraan termasuk juga merupakan tempat dilangsungkannya peradilan. Pengadilan hokum dilaksanakan oleh pimpinan agama yang tertinggi, yaitu Sunan Gunung Jati sebagai ulama sekaligus umaronya. Proses pelaksanaan hukuman harus sepersetujuan Sunan Gunung Jati.
Pelaksamaan pengadilannya disaksikan oleh masyarakat dengan rasa hormat yang cukup besar dan proses pengadilan yang adil. Setelah peradilan Syekh Siti Jenar, Jaksanya untuk pertama kalinya sebagai penuntut umum Pangeran Kejaksan, sehingga diambil dalam sejarah adiyaksa.

KEHIDUPAN RUMAH TANGGA SUSUHUNAN JATI
Istri pertama Sunan Gunung Jati adalah Nyi Mas babadan. Setelah menikah Nyi Mas Babadan dibawa ke Gunung Sembung. Pernikahannya dengan Nyi Mas Babadan tidak dikaruniai putra.Pada tahun 1475 M Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Mas Kawunganten.             Pada tahun 1477 M Nyi Mas Babadan meninggal dunia tanpa dikaruniai putra. Di tahun yang sama dari pernikahannya dengan Nyi Kawunganten, Syarif Hidayatullah memperoleh putri yaitu Ratu Winaon dan tahun 1478 M dan memperoleh putra yaitu Pangeran Sebakingkin, yang kelak menjadi raja di Banten.
Berdasarkan Naskah Sajarah Lampahing Para Wali Kabeh, Pangeran Cakrabuana menyerahkan anaknya sebagai persembahan pengabdiannya kepada Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Mas Pakungwati pada tahun 1478 M. Setelah Syarif Hidayatullah mendapat petuah/ nasihat dan izin dari Sunan Ampel, beliau pergi ke Negeri Cina untuk mengembangkan agama Islam. Di sana  Sunan Gunung Jati bertemu Putri Ong Tin Nio.  Putri Ong Tin Nio yang telah jatuh hari pada Syekh Syarif . Ketika Sunan Gunung Jati kembali ke tanah Jawa,  Putri Ong Tin untuk menyusul Syekh Syarif ke tanah Jawa dengan memberikan tiga buah kapal dengan 150 orang awak kapal, lengkap dengan cinderamata berupa peralatan rumah tangga, piring, cangkir, guci, sutera, dan lain-lain di bawah pimpinan seorang panglima yang bernama Lie Gwan Tjang dan nakhoda Lie Gwan Hien.
Setelah kapal  tersebut berlayar dan berlabuh di Pelabuhan Muara Jati, di sana mereka bertemu dengan orang Keling.  Menurut orang-orang Keling, ternyata Syekh Syarif sedang berdakwah di daerah sekitar Gunung Ciremai (Luragung, Kabupaten Kuningan sekarang).
Rombongan Putri Cina tersebut kemudian menyusul ke tempat Syekh Syarif berdakwah. Setelah rombongan Putri Cina yang dipimpin Patih Cina berjumpa dengan Syekh Syarif, Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, beserta para muridnya, kemudian Patih Cina menyampaikan keperluannya yaitu hendak “mengobati” Putri Cina. Sang Putri bertemu Syekh Syarif di Luragung. Pamanda Putri Ong Tin Nio kemudian menyampaikan maksud bahwa Putri Ong Tin Nio berniat berbakti pada Syekh Syarif. Kemudian, ia mewakili Putri Ong Tin Nio menyampaikan lamarannya. Sebagai lamaran Putri Ong Tin Nio, diserahkanlah harta benda dan 150 orang pengikut Putri Ong Tin Nio.
Atas persetujuan Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, berdasarkan pertimbangan penyebaran Islam, dakwah dan mepererat hubungan antarnegara, maka diterimalah lamaran dan penyerahan tersebut oleh Syekh Syarif. Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Ong Tin Nio pada tahun 1481 M. Pernikahan Sunan Gunung Jati dan Putri Ong Tin Nio tidak memiliki keturunan.
Beberapa tahun kemudian Putri Ong Tin wafat, tepatnya pada tahun  1485 M[20]. Beliau meninggal di hadapan Syekh Maulana. Wafatnya  Putri Ong Tin membuat duka cita yang amat dalam bagi Syarif Hidayatullah Jenazahnya atas kehendak Syekh Maulana dimakamkan di Dalem Pura, di Puncak Gunung Sembung, sebagai penghargaan atas sifat Putri Ong Tin Nio yang sangat berbakti kepadanya.Syekh Maulana kemudian berwasiat apabila beliau wafat, dimakamkan pula di Gunung Sembung, dekat makam istri tercintanya Putri Ong Tin. Pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tin Nio membawa dampak sosial budaya yang luar biasa, terutama dalam hal alkulturasi budaya di Cirebon. Hal ini masih dapat kita lihat sampai sekarang di berbagai bidang, banyak pengaruh budaya Cina yang akhirnya menjadi local geniu.
Sepeninggal Putri Ong Tin Nio, Syekh Datul Kahfi menyerahkan Rara Bagdad, anaknya untuk dinikahi oleh Sunan Gunung Jati. Diharapkan Rara Bagdad dapat berbakti pada Sunan Gunung Jati dan melipur lara Sunan Gunung Jati karena ditinggal oleh Putri Ong Tin Nio. Sunan Gunung Jati kemudian menikah dengan Nyi Rara Bagdad (Syarifah Bagdad/Fatimah/Nyi Mas Penatagama Pesambangan), pada tahun 1485 M. Darinya lahir dua orang putra yaitu Pangeran Jaya Kelana yang wafat pada usia muda dan Pangeran Bratakelana yang wafat di laut setelah pernikahannya dengan Ratu Nyawa karena dibunuh oleh bajak laut. Kemudian pada tahun 1490 M Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Tepasari, putra Ki Gedeng Tepasan dari Majapahit.  Pada tahun 1493 Nyi Mas Tepasari melahirkan Ratu Ayu yang kelak menikah dengan Faletehan dan memiliki seorang putri yang bernama Nyi Mas Wanawati Raras. Kemudian, pada tahun 1495 M  melahirkan Pangeran Pesarean yang kelak menurunkan raja-raja Cirebon. Pernikahan dengan Nyi Mas Tepasari membawa perubahan berarti bagi perkembangan tata kepemerintahan di Cirebon. Segala kebudayaan yang ada di Cirebon, terutama budaya Sunda, dirubah menjadi budaya orang Jawa Timur yang dianggap lebih maju peradabannya. Sehingga tidak mengerankan bila budaya Cirebon lebih mirip pada budaya Jawa Timur dibandingkan dengan budaya Sunda.

KESIMPULAN
1.      Kesuksesan Walisanga mengislamkan pulau Jawa secara masal merupakan hasil dari strategi dakwah yang matang selama bertahun-tahun. Kaderisasi tersebut merupakan scenario yang sengaja dipersiapkan oleh para pendakwah Islam sebelumnya sebelumnya.
2.     Perkembangan dakwah Islam tidak lepas dari sejarah perkembangan Islam dunia. Dan proses pencapaian keemasannya merupakan suatu rangkaian perjuangan dakwah yang panjang baik secara damai maupun dengan kekerasan.
3.     Institusi yang mendorong terbentuknya masyarakat Islam telah dipersiapkan oleh Pangeran Walangsungsang Cakrabuana secara matang. Sehingga proses suksesi dari Pangeran Walangsungsang Cakrabuana kepada Sunan Gunung Jati dapat berjalan sesuai keinginan banyak pihak.
4.     Sunan Gunung Jati tidak hanya menerima tampuk pimpinan begitu saja. Semasa pemerintahannya ia menata pemerintahannya sehingga Cirebon dapat menjadi sebuah Negara yang merdeka. Kokoh dengan perangkat kenegaraannya.
5.     Istri Sunan Gunung Jati turut membawa perubahan besar dalam perubahan sosial budaya dan stuktural pemerintahan di Cirebon.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hamam Rochani, Babad Cirebon, (Cirebon : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, 2008

Ahmad Mansur Suryanegra, Api  Sejarah, Bandung : Salamadani Pustaka Semesta, 2009
Anonimus. 2001. Atlas Dunia, Indonesia dan Sekitarnya. Solo : UD. Mayasari.
Anonimus. Kamus al-Marbawi.
Ansari, Tamim. 2012.  Dari Puncak Bagdad, Sejarah Dunia Versi Islam. Terjemahan : Destiny Disrupted : A History of the World thougth Islamic Eyes. 2009. Jakarta: Zaman.
Atja. 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari. Karya Sastra sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah. Karya Pangeran Arya Carbon. Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Armando Corteso (Ed), The Summa Oriental of Tome Pires : An Account of The East , London : Haklyut Society.
Berg, H.J. Van Den alih bahasa Dr. H. Kroeskamp dan I.P. Simandjoentak, 1951. Dari Panggung Sedjarah Dunia I, India, Tiongkok dan Djepang Indonesia, Djakarta : J.B. Wolters, Groningen.
Cortesao, Armando. 1994. The Summa  Oriental of Tome Pires. 2 Jilid. London. The Hakluyt Society.
Dahuri, Rokhmin. 2004. Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon. Jakarta : Percetakan Negara Republik Indonesia.
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fakta dan Fiksi), Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, Bandung : Perum Percetakan Negara RI, 2003 
De Graaf, H.Y.,dkk.  1994. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI : Antara Historis dan Mitos. Trejemahan Chinese Muslim in Java in the 15th and 16th Centuries.The Malay Annals of Semarang and Cerbon.1984. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.
Djoko N, Irawan.  2011. Majapahit. Peradaban Maritim Ketika Nusantara menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia. Jakarta. Yayasan Suluh Nusantara Bakti.
Ekajati, Edi S. 1991. Pustaka Nagara Kreta Bhumi. Parwa I Sargah 3. Jakarta: Yayasan Pembangunan Jawa Barat, Tim Penggarapan Naskah Pangeran Wangsakerta.
Ekajati, Edi S. 1991. Pustaka Nagara Kreta Bhumi. Parwa I Sargah 4. Jakarta: Yayasan Pembangunan Jawa Barat, Tim Penggarapan Naskah Pangeran Wangsakerta.
Ghofar, Abdul. Mengaji pada Sunan Gunung Jati. Cirebon : Yayasan Pradipta Desa Astana Gunung Jati.
Grosier, Bernard Philippe. 2007. Indocina, Persilangan Kebudayaan. Cetakan Kedua. Bogor : Grafika Mardi Yuana.
Helius Sjamsudin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Ombak, 2007
Iskandar, Yoseph. 1997. Sejarah Jawa Barat. (Yuganing Rajakawasa). Cetakan Kelima. CV. Geger Sunten Bandung.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Antropologi, Rineka Cipta. Cetakan Kedelapan.
Kuntowiojoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003
Jan Verster, Hasil Penelitian Arkeologi dan Arsitektur Keraton Cirebon, Jakarta, 1991
Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa : Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, Bagian II : Jaring Asia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Terj) Nugroho Notosusanto, (Jakarta : UI-Press, 1986
Mahmud Rais,  Sejarah Cirebon, naskah tulisan tangan, 1959
Nabilah Lubis, Filologi, Naskah, Teks, dan Metodologi Penelitian, Jakatra : Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2007
Proyek Pendataan Kesenian. 2001. Himpunan Deskripsi Kesenian Daerah Cirebon. Cirebon.
Rahmat Aziz Al-Banjari, “Perjuangan Politik Walisongo” Makalah Seminar hlm. 9 yang dikutip dari buku karya Hasan Simon, Misteri Syaikh Siti Jenar Peran Walisongo dalam Mengislamisasikan Tanah Jawa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
R.A. Kern dan Hoesein Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon (Terj),  Jakarta : Bhratara
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta : Gramedia, 1993), hlm. 120-121. Penulis kutip dari Adzkiyak Perubahan Sosial ekonomi Masyarakat Nelayan Lamongan 1930-1965, Tesis UGM, 2008
Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya. Buku Kedua. Jakarta : Wedatama Widya Sastra.
Sjamsuddin, Helios.2008. Metodologi Sejarah. Yogyakarta:Ombak. Edisi ke-2.
S.K. Kochhar, Pembelajaran Sejarah, (Terj), Purwanta dkk, Jakarta : Grasindo, 2008
Soekmono, R. 1984. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid 1,2,3. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Subrata, Teja.  2008. Sejarah Carubban Kawedar. Alih Aksara Alih Bahasa oleh Raden Suchri Hidayat. Kabupaten Cirebon : Badan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata.
Sudibyo dan Sudjana. 1980. Carrub Kandha Carang Seket. Alih Aksara Alih Bahasa. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudjana, T.D. Naskah Negara Kerthabumi Tritiya Sarga, Alih Bahasa dan Alih Aksara (Buku ke-3).
Sudjana, T.D., 2003.  Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Muatan Mistiknya. Jakarta : Percetakan Negara Republik Indonesia.
Suleman Sulendraningrat, P. Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon.
Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Walisongo. Jakarta. Pustaka Iman.
Susanto Zuhdi (Penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta : P&K, 1996
Tjandrasasmita, Uka. 2006. Kajian  Naskah-naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta : Puslitbang dan Diklat Departemen Agama Republik Indonesia.
Tim Keraton Kasepuhan, Babad Cirebon, alih aksara, Jakarta : Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2003
Tim Keraton Kasepuhan, Babad Galuh I, alih aksara, Jakarta : Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2003
Tim Keraton Kasepuhan, Babad Galuh II, alih aksara, Jakarta : Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2003
Tim Keraton Kasepuhan Cirebon. 2003. Serat Catur Kanda, Punika Wewacan Sujarah Kagungan Dalem Bupati Rahaden Adipati Harya Suraadiningrat, Jakarta ; Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Unang Sunardjo, Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon Kajian dari Aspek Politik dan Pemerintahan, Cirebon : Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon, tt
Wojowasito, S. 1977. Kamus Kawi Indonesia. Malang : CV. Pengarang.
Wahju,  Amman N. 2005 . Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Naskah Mertasinga. Alih Aksara.
Wildan, Dadan. 2003. Sunan Gunung Jati (antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. Jakarta : Perum Percetakan  Negara RI.
Yunardi, Badri.2009 H. Sajarah Lampahing Para Wali Kabeh. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.


[1] Hoop, 1949.
[2] Sunyoto Agus, dalam Atlas Walisongo hal 31.
[3]  Lahir di Malaka dan menjadi utusan Raja Campa untuk menyebarkan Agama Islam.
[4]  Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu sampai sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik, dan ada juga yang menyatakan bahwa “grage” berasal dari kata “glagi,” yaitu udang kering untuk membuat terasi.
[5] Pustaka Negara Kretabhumi
[6] Perubahan nama ketika seseorang tuntas mengalami satu fase kehidupannya merupakan pengarus Islam. Nama hindu berubah menjadi nama Islam disebut Totemisme.
[7]  Penguasaan di Mesir saat itu berdasarkan system Mamluk, sehingga dimungkinkan seseorang keturunan penguasa Palestina keturunan Campa dapat menjadi salah penguasa di Mesir.
[8]  Bukit Tursina merupakan bukit suci tempat Nabi Musa as menerima Ten of Commandement (sepuluh perintah Tuhan).menjadi pemimpin di tanah Jawa berlatar belakang
[9]  Nyi Mas Ratu Rarasantang meminta salah seorang putranya agar menjadi pemimpin di tanah Jawa berlatar belakang kesedihan terhadap ayahnya, Prabu Siliwangi,  keluarganya dan rakyat Padjajaran yang memeluk agama Hindu pasca ibundanya, Nyi Mas Ratu Subangkarancang meninggal dunia. Keinginan Nyi Mas Ratu Rarasantang tersebut terdapat dalam  Sinom Serat Catur Kanda hal 10-11. Perjanjian tersebut belatar belakang pula dari nasehat-nasehat yang diterima oleh Nyi Mas Ratu Rarasantang pada saat bertemu Syekh Quro, Syekh Maulana Magribi dan Syekh Datul Kahfi yang secara tidak langsung mensugestinya.
[10]  Syatoriyah berkembang di Mandu, India (sebelah timur Gujarat) dengan pesat setelah dipopulerkan oleh Abdullah Syatori, yang wafat di India pada 1236 M (633 H). Ia adalah keturunan Syekh Syihabuddin Suhrawardi yang dikirim oleh gurunya, Syekh Muhammad Arif, ke India. Berdasarkan informasi ini kemungkinan Abdullah Syatori lahir dan menjalani masa pendidikannya di Persia.
[11] Pustaka Negara Kertabhumi hal. 133
[12] Sayyid Ishaq merupakan saudara sepupu Syekh Nurjati yang menikah dengan Ratu Blambangan.  
[13]  Tarekat Jaujiyah didirikan oleh Ibnu Qayim al Jauziyah(691-751 H) atau Muhammad Abi Bakar bin Ayub Sa’ad bin Harist al Zar’I Damsyqi Abu Abdullah Syamsuddin, dilahirkan di kota Damaskus.
[14]    Pangeran Suleman Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon, hal. 35.
[15] Sunan Kudus merupakan pimpinan angkatan bersenjata kerajaan Demak.
[16]   T.D. Sujana. 2003. Hal. 7.
[17] Masjid Agung Sang Ciptarasa ini memiliki nuansa rasa cipta yang mengental. Nuansa yang berasal dari kedalaman rasa yang hakiki, seperti mengentalnya rasa kawula dengan Gusti (manunggaling kawula Gusti). Menyatunya rasa kawula-Gusti, berarti bahwa Sang Pencipta sajalah yang memiliki segala rasa, sementara sang mahluk hanyalah memiliki keikhlasan dan keridhoan dalam segala ketawakalannya. Oleh karena itu, Masjid Agung Sang Ciptarasa menjadi perhatian muslim dunia, yang sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat pendukungnya. Lihat T.D. Sudjana, Masjid Agung Sang Ciptarasa dan Muatan Mistiknya (Bandung: Humaniora Utama Press, 2003), hlm. 2. 
[18] Seperti atap pada Masjid Demak, Masjid Cirebon pun atap tengahnya ditopang oleh empat tiang kayu raksasa. Hanya tiga buah yang utuh, salah satu di antara tiang itu disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu. Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, hlm. 54.
[19] T.D. Sujana, hlm 8-10.
[20] Atja, 1972, 10-11.